Recent Post

Sharing

Para terapis PLA Kalsel pada sharing membahas program anak






Misteri Autis yang Tak Terungkap



Temple Grandin pemuda autis yang sering dikucilkan oleh lingkungan sekitarnya baik teman, keluarga, guru dan sahabat dekat setelah dia mengidap autis. Grandin panggilan akrabnya, mengembangkan pola kontak manusia  pada binatang. Pengembangan metode manusia tersebut dia terapkan pada binatang ternak yang ada di dekat rumahnya. Dengan merawat binatang-binang ternak tersebut Grandin mencoba metode buatanya.
Berangkat dari hal itu semua, Grandin membuktikan pada lingkungannya. Kesuksesannya pada dunia pendidikan ditorehkan hingga bergelar doktor. Kemampuan luar biasanya, ditularkan dengan mengajar orang-orang yang dahulunya sering mengucilkannya.
Sebuah cuplikan film yang berjudul Temple Grandin, perjalanan hidup yang dituangkan dalam sebuah film yang digarap apik oleh sang sutradara. Lewat film tersebut membuktikan bahwa seorang pemuda autis bisa menunjukan potensi dirinya meskipun terdiskriminasi oleh lingkungan.
Apa itu Autisme ?
Perjalan cerita Temple Grandin di atas tentunya menjadi motivasi besar tanpa memandang sebelah mata mereka penyandang autis. Autis dalam bahasa Yunani yang berati auto (sendiri), autis menyerang seseorang yang suka menyendiri. Autis merupakan gangguan perkembangan pada anak balita hingga usia tiga tahun. Bersikap cuek, menyendiri, tidak mau menatap mata, menyakiti diri sendiri, kecenderungan melakukan hal yang berulang, dan sulit untuk mengontrol gerak motoriknya menjadi ciri-ciri terkenanya gangguan perkembangan atau autis.
Autis ditemukan pertama kali oleh seorang ahli kesehatan jiwa bernama Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner menjabarkan tentang 11 pasien kecilnya yang berperilaku aneh yaitu asyik dengan dirinya sendiri, seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri dan menolak berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.  Kanner menggunakan istilah “autism” yang artinya hidup dalam dunianya sendiri. Kanner berhipotesa bahwa pada anak autis terjadi gangguan metabolisma yang telah dibawa sejak lahir. Namun karena pada masa itu alat-alat kedokteran tidak memungkinkan Kanner melakukan penelitian, maka hipotesanya belum dapat dibuktikan. 
Perkembangan dan Sebab Autis di Indonesia
Autis telah ditemukan sejak tahun 1943, penyebab pasti akan gangguan autis yakni pada seorang anak memiliki kelemahan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial dan berimajinasi dengan orang lain ini, masih belum diketahui. Terbatasnya informasi soal autis ini membuat banyak orangtua seringkali keliru dalam memahami dan menangani anaknya yang autis. 
Sejauh ini banyak disebut soal penyebab timbulnya autis. Mulai dari faktor gaya hidup, polusi udara, narkotika, makanan yang tercemar limbah, misalnya ikan laut, dan sayuran yang masih mengandung pestisida, keracunan logam berat, virus dari vaksin, alergi, dan lain-lain. Namun secara ilmiah medis, belum ada kesepakatan soal penyebab autis ini. Sebagian para ahli menduga adanya faktor genetis, tetapi ini pun belum ada bukti ilmiah yang sahih. 
Sementara, gejala autisme yang menyerang Indonesia muncul sekitar tahun 1990. "Gejala ini muncul pada siapa saja, tidak peduli ras, pendidikan maupun golongan ekonomi sosial," kata dr. Melly Budhiman Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI).
“Kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang autisme membuat penanganan yang dilakukan tidak maksimal. Padahal autisme membutuhkan penanganan jangka panjang, tidak bisa main instan alias cukup sekali datang” tambah dr Melly saat seminar di Graha Scovindo.
YAI melihat kurangnya tenaga profesional dalam menangani anak autis di Indonesia menjadi salah satu penyebab penanganan yang tidak maksimal. Hal ini masuk akal, sebab negeri ini baru mempunyai 40 psikiater anak yang khusus menangani masalah autisme. YAI sendiri memandang penting upaya sosialisasi mengenai autisme sehingga masyarakat bisa memahami secara benar informasi dan penanganannya. Serta dapat mengedukasi masyarakat yang belum mengerti autisme, sehingga tidak ada lagi penghinaan, ejekan, maupun pelecehan terhadap para penyandang autis. 
Penanganan autisme di Indonesia berjalan lambat, juga karena banyaknya permasalahan lain yang dihadapi. Permasalahan autisme di Indonesia terbilang rumit. Geografi negara kepulauan ini tidak mendukung untuk dapat menjangkau anak-anak autistik di pulau-pulau yang jauh dari pulau Jawa. Masyarakat Indonesia yang multietnis dan multikultur menyebabkan penanganan autisme sangat beragam. Entah sampai kapan penyandang autis akan bisa berkurang, riset-riset tentang autis yang belum mendalm dan terselesaikan tentunya akan menjadi bak misteri yang tak terungkap. *Athurtian
 
 
Sumber: Majalah Rumah Autis 2008  

Diet GFCF Baik Untuk Anak Autis



Obesitas atau kegemukan tampaknya menjadi hal yang harus dihindari. Berbagai macam obat diet dan cara diet banyak beredar di masyarakat. Dengan persentase yang menjanjikan bisa membuat tubuh Anda bisa lebih indah untuk dilihat. Namun, diet tidak hanya dilakukan Anda yang terkena obesitas atau sekadar memperindah bentuk tubuh. Ternyata diet juga dilakukan oleh anak-anak autis. Lantas bagaimana cara dietnya ?
Autis merupakan gangguan perkembangan yang menyerang anak pada usia balita hingga tiga tahun dengan deteksi dini lebih cepat. Gangguan perkembangan tersebut ternyata berpengaruh terhadap makanan yang dikonsumsi anak-anak autis.
Diet GFCF menjadi salah satu diet yang bisa dilakukan oleh anak autis, guna mencegah gangguan pencernaan lain yang mengakibatkan semakin parahnya perkembangan anak autis. Diet GFCF ialah diet Gluten Free Casein Free di mana anak penyandang autis menghilangkan konsumsi gluten dan casein.
Gluten merupakan protein yang terdapat pada tumbuhan. Sedangkan Casein merupakan phospo protein dari susu yang mempunyai struktur mirip gluten. Dalam proses pencernaan di saluran tubuh, makanan dipecah menjadi komponen komponen yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh usus halus untuk dipergunakan oleh tubuh. Proses pemecahan menjadi bentuk sederhana ini dilakukan oleh enzim yang ada di saluran pencernaan.
Bahan makanan yang mengandung protein (yang terbentuk dari rangkaian beberapa asam amino) dalam saluran pencernaan dipecah menjadi asam amino tunggal dan bentuk paling sederhana inilah yang diserap oleh tubuh. Anak penyandang autis mempunyai masalah dalam proses  mencerna/ memecah protein gluten dan casein. Akibatnya struktur protein gluten dan casein dalam saluran cerna anak autis tidak terpecah sempurna menjadi asam amino tunggal melainkan masih dalam bentuk peptida ( rangkaian beberapa asam amino).
Lalu akan terjadi masalah di mana peptida akan keluar dari saluran pencernaan ( diserap oleh tubuh) masuk dalam ke dalam darah ( pada normal hal ini seharusnya tidak terjadi ) dan kondisi ini disebut Leaky gut  (Kebocoran saluran cerna) di mana dinding usus halus tidak mampu lagi menjadi dinding pemisah antara isi usus halus dan darah.
Cara Diet Untuk Anak Autis
Diet tersebut tentunya bisa dilakukan oleh orang tua penyandang autis. Diet GFCF bisa dilakukan dengan kontrol secara teratur. Diet GFCF baiknya dilakukan setiap minggu, dengan jadwal sebagai berikut:
Minggu ke I
Kurangi dan kalau mungkin hapuskan makanan yang berasal dari terigu dalam bentuk mie.
Solusi   : Cari makanan mirip mie yang berasal dari tepung beras.
Seperti : Bihun, rice spaghetti, corn spaghetti, rice & corn fetucinni, kwetiauw beras.
Minggu ke II
Selain mie di atas, kurangi atau kalau mungkin hapuskan makanan yang berupa biskuit. Biskuit yang ada di pasaran bebas terdiri dari susu, terigu, zat aditif (perenyah, pengawet, perasa, dll).
Solusi   : Cari biskuit dari tepung beras.
Seperti : Produk Oma Lina’s (Kue semprit, kue chocollatechip cookies, kue krispi)
Minggu ke III
Selain mie, biskuit, roti – kurangi atau kalau mungkin hapuskan makanan yang berupa roti. Roti biasanya dominan mengandung tepung terigu dan ragi.
Solusi   : Buatkan makanan yang bebas dari tepung  sebagai camilan.
Seperti : singkong goreng, ubi goreng, kentang goreng.
Minggu ke IV
Selain mie, biskuit, roti – kurangi atau kalau mungkin hapuskan makanan yang berasal dari susu sapi, seperti: susu bubuk untuk anak yang banyak di pasaran, keju – kurangi atau kalau mungkin hapuskan makanan yang berasal dari susu sapi, seperti: susu bubuk untuk anak yang banyak di pasaran, keju, coklat yang dijual di pasaran.
Solusi   : Susu kedelai dengan tambahan aroma pandan, aroma jahe, bisa juga ditambah dengan coklat Paskesz (bukan dari produk susu), susu kentang (Vance dari Free)
Bila diperlukan, kurangi atau hapuskan susu kedelai. Sebagai penggantinya, pakailah air tajin dari beras.
Minggu ke V
Selain mie, biskuit, roti, susu – kurangi atau kalau mungkin hapuskan makanan yang banyak mengandung gula, seperti: sirup, permen, minuman kotak yang dijual di pasaran, soft drink.
Solusi   : No sugar, ganti dengan gula merah, Stevia.
Minggu ke VI
Selain mie, biskuit, roti, susu, gula – atur buah-buahan yang biasa dikonsumsi anak. Hindari apel, anggur, melon, Selain mie, biskuit, roti, susu, gula – atur buah-buahan yang biasa dikonsumsi anak. Hindari apel, anggur, melon, tomat, jeruk, strawberry.
Konsumsi: pepaya, nenas, sirsak, kiwi. Bila perlu dalam bentuk pudding.
Diet GFCF tentu perlu kerjasama antara orang tua dan anak penyandang autis. Dengan diet GFCF perkembangan anak autis akan lebih baik dengan catatan hindari makanan yang mengandung pengawet, perasa, pewarna dan msg. *Athurtian

Menyelaraskan Pola Makan & Tipe Perilaku Anak Autis

JAKARTA--Anak dengan kebutuhan khusus seperti autisme cenderung memiliki alergi terhadap makanan. Perhatian orangtua terhadap pola makan  sangat diperlukan. Pasalnya, asupan makanan akan mempengaruhi tingkah laku anak.

Konsultan Anak berkebutuhan Khusus dari yayasan Medical Exercise Theraphy, Tri Gunadi mengatakan, hal pertama yang dilakukan orang tua sebelum menerapkan pola makan terhadap anak autis adalah mengetahui tipe dari perilaku anak, apakah termasuk ke dalam tipe Seeking Defensiveness (mencari) atau Bahavior Defensiveness (menghindar).

Pada tipe mencari, anak cenderung memiliki nafsu makan yang  besar dan senang mengunyah. Anak pada tipe ini memiliki kemungkinan terkena obesitas atau kelebihan barat badan. Berbeda dengan tipe mencari, tipe anak menghindar memiliki nafsu makan yang kecil bahkan cenderung menghindar dari makanan yang masuk melalui mulut.Selain itu, anak tipe ini tidak senang mengunyah. Artinya, anak langsung menelan makanan tanpa mengunyah terlebih dahulu.

"Hal ini penting untuk diketahui, karena berkaitan dengan terapi yang akan dijalankan si anak," tuturnya disela perkenalan acara London School Care Autisme yang digagas STIKOM LSPR yang berlangsung di Jakarta, Kamis (12/11).

Lebih jauh dia menjelaskan, bila sudah diketahui tipe si anak, langkah lanjutan yang diperlukan adalah memberikan pola makan yang tepat. Pada anak bertipe mencari, anak harus diberikan makanan bertekstur dan berpola. Maksudnya berpola, anak bertipe pencari dikenalkan dahulu makanan yang memerlukan proses mengunyah lebih lama baru diperkenalkan pada makanan bertekstur lembut. Dengan harapan, anak akan mudah kenyang hingga menghindarkan diri dari obesitas.

Pada anak bertipe menghindar dilakukan dengan pola terbalik. Anak harus diberikan makanan bertekstur halus terlebih dahulu sebelum diberikan makanan bertekstur kasar. Pasalnya, anak pada tipe menghindar begitu sensitif terhadap makanan. Bila tidak ditangani dengan baik berpotensi besar mengalami gizi buruk.

"Perlu disadari, seberapapun orang tua memiliki kemampuan finansial yang baik, pemenuhan kebutuhan gizi pada anak autis belum tentu sempurna," tegasnya.

Dia juga menggarisbawahi, anak dengan gangguan autis umumnya pada saat makan dipengaruhi dua hal yakni benda dan logo. Pada anak-anak autis begitu tertarik dengan apa yang dilihatnya. Misalnya, ketika anak melihat mie sebagai hal menarik maka dia akan mengkonsumsi mie terus menerus atau mungkin ketika dia melihat menu mie pada iklan yang dia lihat ditelevisi juga akan memberikan dampak yang sama. "Sebab itu, kecerdasan orang tua dalam memasukan konsep makanan akan berpengaruh terhadap pola makan si anak," tegasnya.

Metabolisme Berbeda


Usai mengetahui tipe anak, orang tua juga harus memahami bahwa anak dengan gangguan autis memiliki metabolisme yang berbeda dengan anak normal. Metabolisme yang berbeda disebabkan kelainan pencernaan yang ditemukan adanya lubang-lubang kecil pada saluran pencernaan, tepatnya di mukosa usus.

Kelainan lain terletak pada kesulitan memproses protein karena termasuk asam amino pendek yang sering disebut “peptide”. Peptide dalam keadaan normal biasanya hanya diabsorbsi sedikit dan sisanya dibuang, namun karena adanya kebocoran mukosa usus menjadikannya masuk ke dalam sirkulasi darah.

Di dalam darah peptide ini hanya sebentar, karena sebagian dikeluarkan lewat urine dan sisanya masuk ke dalam otak yang dapat menempel pada reseptor opioid di otak. Akibat dari itu, peptide akan berubah menjadi morfin yang dapat memengaruhi fungsi susunan syaraf dan dapat menimbulkan gangguan perilaku.

Sebabnya, anak pada gangguan autis harus menghindari makanan yang terklasifikasi menjadi dua yaitu Kasein (protein dari susu) dan Gluten (protein dari gandum). Pada orang sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius atau memicu timbulnya gejala.

Pada anak dengan gangguan autis, kedua zat ini yang sulit dicerna dan diterjemahkan otak sebagai morfin. Kadar morfin yang tinggi menyebakan anak menjadi lebih aktif, bahkan layaknya zat morfin pada narkotika dan obat-obatan terlarang akan berimbas pada kebalnya anak dari rasa sakit. "ini yang berbahaya, anak-anak bisa membahayakan dirinya karena adanya morfin," tukas Tri.

Meski demikian, tambahnya, bukan berati pemberian asupan makanan pada penderita autis menjadi sulit. Menurut Tri, orang tua tinggal menggantikan sumber makanan yang mengandung kasein dan gluten dengan bahan-bahan yang aman dari kedua zat tersebut. Contoh sederhana, ganti susu sapi dengan susu kedelai.

Oleh karena itu,Tri menyarankan orang tua untuk tidak terlalu khawatir anak-anak mereka tidak mendapatkan gizi yang lengkap. Tri justru meminta para orang tua untuk lebih aktif mencari informasi terkait asupan makanan yang tepat bagi si anak.

Peran Orangtua

Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, rata-rata menyimpulkan orang tua merupakan faktor penyembuh paling mujarab. Pasalnya, keterikatan batin terhadap anak tak akan tergantikan dengan apapun. "Rasa sayang orang tua merupakan obat penyembuh bagi anak-anak ini," tukasnya.

Tri Gunadi merupakan salah satu orang tua yang dianugerahi anak-anak "istimewa". Anaknya yang bernama Enrico (7 tahun) telah mendertita gangguan autis pada usia 8 bulan.  Dirinya sempat merasa terkejut, bukan karena malu tapi lantaran dirinya adalah seorang konsultan autisme.

Pada akhirnya, dia menerima anugerah tersebut dengan lapang dada. Usai mengetahui anaknya menderita autis, dia lakukan pemeriksaan terhadap anak. Mulai dari ujung rambut hingga bagian dalam tubuh Enrico.

Selama 18 bulan dia melakukan tes demi mendapatkan penyembuhan tepat bagi si anak. Enrico merupakan anak yang telat belajar bicara. Dengan perjuangan yang keras, Tri usahakan agar si anak belajar berbicara. Usahanya pun tak sia-sia lantaran si anak akhirnya mampu belajar bicara dalam bahasa Indonesia dengan lancar. Dia pun memutuskan untuk mengenalkan bahasa inggris pada Enrico pada usia 4.5 tahun. Hasilnya, Enrico sudah mahir bertutur bahasa inggris.

Menurut Enrico, anak-anak autis dengan peran dan kasih sayang orang tua bisa berprestasi layaknya anak-anak normal. Hanya saja, orang tua harus ekstra sabar dan menunjukan kasih sayang yang lebih untuk si anak. Dengan kasih sayang itu, anak seolah dilindungi dan didukung. Terlebih saat anak sudah mencapai taraf remaja, dukungan orang tua menjadi penting.

Memasuki usia remaja, lingkungan merupakan tantangan bagi anak dengan gangguan autis. Bukan tanpa sebab, anak sering merasa frustasi bila merasa berbeda dengan anak-anak sebayanya yang normal. Maka dari itu, saran Tri, orang tua sudah harus mulai memberikan pengertian kepada si anak atas anugerah yang dimilikinya. cr2/rin


sumber : klik disini

Cermat Atur Pola Makan Anak Autis

JAKARTA--Anak dengan gangguan autis umumnya menderita alergi berat.  Sebab itu, perlu perhatian khusus dari para orang tua.

Perlu diketahui, anak-anak dengan gangguan autis memiliki kelainan metabolisme sehingga sulit mencerna makanan yang tergolong kasein (protein dari susu) dan Gluten (protein dari gandum).

Makanan tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur anak, makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit demi sedikit.

Berikut beberapa saran yang dari pusat Terapi Tumbuh Kembang Anak (yamet) dan beberapa sumber lainnya untuk mengatur makanan secara umum pada anak-anak dengan gangguan autis, antara lain :
  • Berikan makanan seimbang dengan menggantikan makanan yang  mengandung kasein dan gluten dengan bahan-bahan lain untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua zat gizi yang dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel yang rusak dan kegiatan sehari-hari.
  • Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi jamur. Fruktosa dapat digunakan sebagai pengganti gula karena penyerapan fruktosa lebih lambat disbanding gula/sukrosa.
  • Gunakan minyak sayur, minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kedelai, atau minyak olive sebagai pengganti minyak goreng konvesional.
  • Konsumsi banyak serat, khususnya serat yang berasal dari sayuran dan buah-buahan segar. Konsumsi sayur dan buah 3-5 porsi per hari.
  • Hindari makanan yang menggunakan food additive (zat penambah rasa, zat pewarna, zat pengawet).
  • Bila keseimbangan zat gizi tidak dapat dipenuhi, lantaran anak terlalu sulit menerima asupan makanan, maka pertimbangkan pemberian suplemen vitamin dan mineral (vitamin B6, vitmin C, seng, dan magnesium). Langkah ini harus dikonsultasikan dengan dokter.
  • Berikan makanan yang cukup bervariasi. Bila makanan monoton, maka anak akan bosan.
  • Hindari junk food seperti yang saat ini banyak dijual, ganti dengan buah dan sayuran segar. cr2/rin

sumber : klik disini

Diet, Senjata Utama Penanganan Anak Autis

SEMARANG--Diet secara teratur bisa menjadi senjata utama penanganan terhadap anak penderita autisme, kata peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang, S.A. Nugraheni."Langkah ini biasanya belum terpikirkan oleh para orang tua yang memiliki anak autis," katanya usai menyampaikan hasil penelitian tentang "Perubahan Perilaku Anak Autis Pascaintervensi Diet Bebas Gluten Bebas Casein", di Semarang, Kamis.
Berdasarkan penelitian, katanya, sebagian besar anak autis, terutama pada tingkat lanjut, memiliki respons yang baik ketika mendapat makanan rendah kadar gandum, susu, dan produk sejenisnya. Beberapa hasil penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa jenis makanan yang harus dihindari oleh penderita autis adalah makanan yang mengandung gluten, casein, glukosa, dan lemak. "Namun belum ditemukan bukti otentik," katanya.
Pihaknya dibantu peneliti dari Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, masing-masing M. Hakimi dan Y. Prawitasari, berinisiatif meneliti pengaruh diet bebas casein dan gluten terhadap perubahan perilaku anak-anak autis. "Kami melakukan konseling terhadap para orang tua yang memiliki anak autis secara mendalam melalui modul dan buku-buku tentang makanan yang bebas gluten dan casein yang dilakukan setiap dua minggu sekali selama tiga bulan," katanya.
Ia mengatakan, konseling tersebut perlu terus menerus untuk memonitor apakah diet bebas gluten dan casein masih dijalankan mereka. Hasil pengamatan, katanya, ternyata menunjukkan perubahan perilaku yang positif secara signifikan.
Dugaan sebelumnya, katanya, faktor psikologis memegang peranan penting terhadap timbulnya gejala autisme. Namun, katanya, berbagai penelitian dalam bidang metabolisme menunjukkan banyak anak autis yang mengalami berbagai gangguan metabolisme."Gangguan metabolisme yang banyak ditemui pada anak autis di antaranya alergi terhadap berbagai jenis makanan, pertumbuhan jamur dan 'yeast' yang berlebihan, gangguan pencernaan, dan keracunan logam berat," katanya.
Selain itu, katanya, terdapat kelainan yang ditemukan di usus anak autis berupa lubang-lubang kecil di mucosa usus dan meningkatnya permeabilitas usus yang dikenal dengan nama "leaky gut". Ia mengatakan, gluten (protein dari gandum) dan casein (protein dari susu sapi), keduanya adalah protein yang susah dicerna (peptide), terutama karena kebocoran mukosa usus yang berakibat masuk ke sirkulasi darah.
Namun, katanya, peptide tersebut tidak lama berada dalam darah, karena sebagian dari peptide itu dikeluarkan lewat urine dan sebagian lainnya masuk ke otak yang akan menempel pada reseptor opioid. "Apabila sudah seperti itu, peptide ini akan berubah fungsi menjadi morfin yang dapat memengaruhi fungsi susunan syaraf pusat, sehingga timbul gangguan perilaku," kata Nugraheni. ant/kpo


sumber : klik disini

Pendidikan Bagi Penyandang Autisme: Akademis atau Non-Akademis?


Pendidikan Bagi Penyandang Autisme: Akademis atau Non-Akademis?


“Pagi bu ...maaf mengganggu. Mau konsultasi.”


Kalimat yang ‘biasa’ ini, diikuti rangkaian kata yang membuat saya terkesiap... 

“Kira-kira Oktober 2013 mobil kami ditabrak dari depan. Saya yang mengemudi, anak saya remaja autistik duduk di samping saya. Kami tidak salah sama sekali. Mobil yang menabrak, lepas kendali disupiri anak perempuan remaja SMA. Saat saya sedang berbicara pada orangtua anak itu, tiba-tiba anak saya memukul anak perempuan tadi. Anak tersebut, tidak jatuh dan bahkan tidak terluka.” 

“Desember 2013, kami dapat panggilan dari kantor polisi karena ternyata orangtua anak tersebut melaporkan kami. Kami disidik. Minggu lalu (Maret 2014), dapat panggilan lagi. Kata polwan penyidik kami, orangtua anak perempuan itu kepingin bikin anak saya kapok karena sudah pukul anak mereka. Saya harus bagaimana, bu? Anak saya beberapa hari ini jadi mendadak diam saja. Kalau ditanya, apakah takut atau malu, dia bilang ‘aku gak tau, aku bingung, aku stres’...” 

Remaja autistik berusia 16 tahun yang jadi tokoh di atas, pernah bersekolah di sekolah reguler. Tapi mencapai jenjang SMP, ia berhenti bersekolah akibat seringnya dilecehkan dan diganggu (‘bullying’). Ia periang, suka bergaul, ramah. Semenjak berbagai kejadian itu, ia seperti linglung. Minta sekolah, tapi di sekolah mudah pukul orang lain. Hampir selalu ada kejadian di sekolah berupa pemukulan atau protesnya karena ‘orang lain tidak menuruti kemauannya’. Begitu tidak dituruti, remaja ini memukul atau melempar gelas dan benda lain di dekatnya. 

Semua fakta di atas, ibarat memberikan penguat pada apa yang saya hadapi sehari-hari sebagai ibu dengan anak autis. Sedari ia kecil, saya berpikir mau autis atau tidak, perilaku yang dituntut di masyarakat tentu harus memenuhi standar tertentu. Maka ia selalu harus bisa menata diri. Marah adalah perasaan yang lazim, tapi tidak pernah boleh diekspresikan dengan memukul. Pengendalian diri dan menerima kekecewaan adalah pengalaman yang harus dilatihkan terus. 

Maka ketika saya harus memilih antara berusaha memasukkannya ke sekolah reguler atau berusaha membuat sistim pendidikan khusus anak autis, saya memilih yang kedua. Kenapa? 

Sejujurnya, dengan segala hormat, saya tidak pernah bisa percaya bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat mengikuti pendidikan berbasis kurikulum nasional. Kurikulum itu mengharuskan anak mampu cepat mengolah informasi, cepat paham konsep abstrak, hafal banyak informasi dalam waktu singkat, dan banyak lagi. Sifat unik ABK sangat sulit ikuti proses ini. Bila dipaksakan, mereka (dan keluarganya) akan tertekan menghabiskan waktu berusaha penuhi standar kurikulum. 

Pertanyaan yang selalu berkecamuk adalah, pertama, kapan anak bisa ‘belajar untuk hidup’ dengan sesungguhnya? Belajar kendalikan diri, bersikap baik, belajar analisa keadaan lalu simpulkan harus berbuat apa, belajar selesaikan masalah ketika tidak ada orang lain, belajar kelola waktu luang, menggali bakat dan minat, dan begitu banyak hal yang justru penting dipersiapkan bagi ABK. Kedua, bagaimana anak-anak ini akan menggunakan ijazah yang (mungkin) mereka capai? Mungkinkah mereka bersaing dengan calon pekerja lain berebut lapangan pekerjaan yang terbatas? 

Rasanya sulit. 

Maka belasan tahun lalu saya ambil keputusan untuk fokus pada pembelajaran non-akademis kepada anak saya dan anak-anak lain. Fokus saya lebih kepada memberi bekal agar mereka menjadi 
pribadi dewasa mandiri, mampu kelola emosi, dan berperilaku tertib. Dapat menjadi tenaga kerja yang bermartabat, tidak tergantung kepada orang lain. Bermasyarakat, tidak paksakan kehendak. 

Proses yang masih diperjuangkan tapi setidaknya sudah memperlihatkan hasilnya. Anak saya, Ikhsan Priatama kini sudah berusia 23 tahun. Tetap tidak bisa berbicara, tapi dapat bepergian tanpa keluarganya bahkan untuk menginap meski dengan pengawasan. Ia tidak punya ijazah dari lembaga apapun, tetapi sudah punya tabungan atas namanya sendiri dari hasil penjualan lukisannya. Kini ia sedang belajar mengelola keuangan, belajar memahami bahwa ‘beli paket lebih bijak daripada beli eceran’, bahwa ‘diskon 70% itu bagus kalau produk yang dibeli ada gunanya’. Ia bisa mengurusi diri sendiri, meski tetap tidak bisa ditinggal sendirian. Bila ada yang kurang berkenan baginya, ia kendalikan diri dan masuk kamar untuk berteriak atau marah beberapa menit. Saat sedang di tempat umum dan ada yang kurang nyaman, memang ia masih beberapa kali tampak ungkapkan rasa kesalnya secara terbuka, tapi ia dapat diberitahu dan dengan cepat menenangkan diri. 

Kembali kepada kasus pertama yang Anda baca pada awal tulisan ini, bagaimana sebaiknya kita menyikapi pendidikan bagi ABK, terutama anak autistik yang makin besar jumlahnya di negara kita ini? Akankah kita hanya fokus pada pencapaian akademis, atau, akankah kita mulai memberikan porsi penting penanganan terhadap berbagai aspek non-akademis yang sangat penting bagi kehidupan mereka kelak di usia dewasa? Saya bersyukur sudah memilih yang kedua. 

Bagaimana dengan Anda? 


Dyah Puspita, psikolog. Pendiri Yayasan Autisma Indonesia, pendiri dan pengurus Yayasan SaPA (Lentera Asa Peduli Autis), pemilik Rumah Belajar Tata, ibu dari Ikhsan Priatama, autis non-verbal, 23 tahun.  




sumber: http://www.portalkbr.com/opini/opinianda/3193812_4308.html

Snoezelen

 
Apa itu terapi snoezelen?
Snoezelen atau 'controlled multisensory stimulation' adalah terapi stimulasi multisensori (visual, auditori, taktil, pembauan) yang digunakan untuk anak-anak dengan hambatan mental, autisma, dementia, cedera otak, dan hambatan tumbuh kembang lainnya. Terapi ini dirancang spesial untuk memberi stimuli pada berbagai indera dengan menggunakan efek lampu, warna, suara, musik, bau, dll.
Ruang terapi snoezelen menyediakan suasana yang ramah, menyenangkan, rekreasional bagi anak dengan hambatan tumbuh kembang khusus. Lingkungan terapi snoezelen haruslah aman dan tidak mengancam. Anak dan orang dewasa yang menjalani terapi ini menikmati stimulasi yang lembut dari panca inderanya. Mereka mengalami kontrol diri yang lebih baik, peningkatan rasa percaya diri, dan penurunan tekanan/stress.
Contoh stimulasi sensori dalam terapi snoezelen :
  • berbaring, bermain, dan memeluk bantal
  • menikmati berayun di kursi gantung
  • mendengar musik lembut sambil berkhayal
  • membuat suara-suara lucu dengan alat khusus
  • bermain dengan tangga, cermin
  • memperhatikan pola lampu warna-warni dan berkelap-kelip
  • memperhatikan gelembung-gelembung warna bergerak-gerak di dalam tabung gelembung.
  • menyelam di dalam kolam mandi bola

Snoezelen di Angel's Wing
Angel's Wing menyediakan fasilitas ruang snoezelen. Ruang ini dilengkapi matras full satu ruangan, bantal, mainan, tangga, cermin, lampu warna-warni dan pola berputar-putar, lampu kelap-kelip, dan cahaya dalam ruangan bisa diatur dengan 5 warna berbeda (putih, merah, kuning, hijau, dan biru). Untuk mendukung terapi, juga dilengkapi dengan music yang disesuaikan untuk anak (lembut, ceria)
Anak akan merasa nyaman dan rileks, dan dengan panduan terapis snoezelen terlatih kami berusaha membantu anak mendapatkan hasil yang optimal.


sumber : disini

Terapi Okupasi

Apa itu terapi okupasi?
Terapi okupasi adalah terapi untuk membantu seseorang menguasai keterampilan motorik halus dengan lebih baik. Keterampilan motorik halus adalah kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu dengan otot-otot kecil yang ada di dalam tangan.
Contoh kemampuan motorik halus :
  • menulis dan menggambar
  • mewarnai
  • menggunting dan menempel
  • mengancing baju
  • mengikat tali sepatu
  • melipat
  • dll

Siapa yang membutuhkan terapi okupasi?
  • anak-anak yang mengalami keterlambatan keterampilan motorik halus. Ini merupakan salah satu hambatan tumbuh kembang yang bisa dialami anak secara umum.
  • anak-anak dengan hambatan tumbuh kembang khusus (autisma, down syndrome, cerebral palsy)
  • pasien stroke terkadang kehilangan kemampuan motorik halus, dan terapi okupasi bisa membantu pasien melatih tangannya lagi



    sumber : disini

HUJAN SISAKAN GERIMIS

oleh: Argono S. Hadiwidjojo

mungkin terik panas telah begitu mendera
tetes hujan terobos tiap pori kulit, merasuk jantung
menuju akhir langkahmu mendaki, meniup kuat angin
menghempas kelopak-kelopak kemuning, menggigit
rasa sakit, terjatuh kau

menggantung mendung menghitam
angin mengabut, pupus pagi
malam berpanjang
runtuhkah langitmu

hujan tumpahan langit sisakan gerimis
tak mungkin bohongi diri, mengalah
bukan kalah, perjalanan
sungguh masih panjang
jangan keluh tutupi syukurmu
telah Ia beri kau mampu

(di batang adenium tua kukenangkan kekasih
muncul samar, begitu kerap
mengetuk-ngetuk pintu hati, begitu perkasa
atasi dera, bagai lagu alirkan nada
alunkan kasih, laut tenang dalam gelombang
buaikan rindu, kejaran canda menggoda
meraih tepian pantai, merapat berlabuh)

pada batang luka
dengan helai daun tersisa
kuntum muda menjelma
(di ruang sunyi tersunyi, cinta
mendidik tanpa sebiji kata)

sumber: disini

Olahraga bagi Anak Autistik Kaya Manfaat

"Menyitir pendapat terapis Sony Ambudy, Amd OT, olahraga adalah salah satu cara efektif untuk menjalin komunikasi interaktif dengan anak autistik. Gerakan intensif pada olahraga tertentu dapat membantu penyandang autistik berkomunikasi secara non verbal"

Olahraga tidak hanya berguna untuk kesehatan fisik semata, namun juga baik bagi kesehatan psikis penyandang autistik, sehingga kita dapat memasuki dunia penyandang autisma dengan lebih mudah. Bila dikemas dengan cara menyenangkan, olahraga menjadi aktivitas yang memberikan banyak manfaat bagi autistik, karena pada dasarnya semua orang senang bermain.
Ruang terbuka adalah lokasi berolahraga yang baik bagi penyandang autistik, karena secara psikologis membantu mereka untuk lebih terbuka terhadap orang di sekitarnya.
Olahraga bagi anak autistik juga bermanfaat sebagai pengalih kegiatan tantrum dan sarana untuk melepaskan energi yang berlebihan sehingga emosinya dapat tersalurkan. Selain itu anak autistik dapat berlatih motorik halus, motorik kasar, keseimbangan, interaksi sosial dan berbagai persepsi tentang ruang publik dan ruang pribadi.

Gabriels menemukan bahwa sifat lekas marah, hiperaktif, dan perilaku stereotip seperti misalnya tangan mengepak, secara signifikan berkurang setelah anak-anak autistik melakukan olahraga berkuda. Studi tentang manfaat berkuda bagi anak autistik telah banyak dilakukan. Salah satu menyebutkan bahwa bila dilakukan selama 10 minggu, dapat memengaruhi motorik, verbal, dan keterampilan berbahasa. Anak-anak tersebut memiliki pemahaman yang lebih baik, lebih mudah berbagi dengan orang lain, dan bersosialisasi.
Sedangkan Hameury menemukan bahwa berkuda dapat meningkatkan perhatian anak autistik, memperbaiki persepsi tentang emosi, dan diyakini kedekatan anak dengan kuda memberi efek menenangkan.

Jenis olahraga lain juga memberi efek positif bagi anak autistik, misalnya saja jogging, gym, renang. Namun tentu saja orangtua perlu memastikan keamanannya.  Allion menemukan bahwa jogging selama 20 menit menurunkan sifat agresif. Ia memberlakukan selama 2 minggu.
Renang juga dapat membantu anak autistik lebih tenang. Yang pernah dilakukan adalah berenang selama 60 menit, dimana di dalamnya meliputi berenang sambil terapi dan dalam bentuk permainan bersama ayah/ibu/pendamping. Latihan dilakukan seminggu dua kali selama 16 minggu. Para pakar menyarankan agar saat berenang melibatkan saudara kandung

Diduga semua mekanisme terjadinya perubahan perilaku tersebut berkaitan dengan hormon adenosin di otak. Hormon ini membuat tidur lebih nyenyak, mengurangi kejang dan rasa cemas.
Upaya meningkatkan adenosin dalam aktivitas sehari-hari dapat berupa:
  • Jalan kaki selama 15 menit
  • Jogging 20 menit
  • Berenang 30 menit
  • Melompat-lompat di trampolin selama 10 menit
  • Jalan santai 30 menit.

Jika Anda bingung menentukan jenis olahraga bagi anak, diskusikan dengan dokter dan terapisnya. Apapun itu, usahakan untuk mengagendakan olahraga buat putra-putri Anda. Ini akan membantu Si Kecil belajar lebih banyak dan berperilaku baik.


sumber; disini

Brain Gym Cerdaskan Anak

Brain stimulation akan membawa dampak tumbuh kembang yang optimal pada anak



Masa golden period atau masa emas anak merupakan masa yang tidak bisa terulang. Karena pada masa ini, pertumbuhan otak tercepat terjadi hanya di tahun pertama kehidupan anak. Dan pada waktu anak menginjak usia 3 tahun, otaknya telah membentuk 1.000 triliun hubungan atau sekitar dua kali lipat hubungan yang dimiliki oleh orang dewasa. Hal ini disampaikan oleh Tri Gunadi, OTR (Ind), S.Psi, dalam Smart Parent Conference pada 24 Juli 2009. “Mengingat masa emas tersebut seharusnya orang tua memberikan brain stimulation pada anak. Brain stimulation akan membawa dampak tumbuh kembang yang optimal pada anak,” tambahnya.


Brain stimulation dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan brain gym. Apa itu brain gym?Brain gym adalah nama serangkaian latihan gerak sederhana untuk stimulasi otak dalam memudahkan kegiatan belajar. Suatu rangkaian kegiatan yang cepat, menarik, dan dapat meningkatkan semangat saat beraktifitas. Latihan ini sangat membantu dalam menggerakan anggota badan, mengkoordinasikan gerak, ketrampilan, membantu dalam hal belajar di sekolah dan dalam tuntutan penyesuaian kegiatan sehari-hari.
Brain gym membantu anak untuk dapat memanfaatkan seluruh potensi otak alamiahnya melalui gerakan dan sentuhan-sentuhan. Penting sekali untuk belajar dalam berbagai kegiatan, misalnya belajar berjalan dan berlari (semua yang dibutuhkan untuk berpikir dan bergerak di waktu yang bersamaan), memberikan atensi (semua yang dibutuhkan untuk memfokuskan pada satu hal dan memahaminya), mendengar (semua yang dibutuhkan untuk mendengar dan berbicara), berfikir (semua yang dibutuhkan untuk berfikir dan mengingat), membaca (semua gerakan untuk mata, otak, dan tubuh supaya siap dalam membaca), mengeja (semua yang dibutuhkan untuk mengeja atau mengerjakan matematika), menulis dan menggambar (semua yang dibutuhkan untuk menulis dan/atau kreatif), dan lain sebagainya.

Keuntungan brain gym

  1. memungkinkan anak belajar tanpa stress
  2. dapat dilakukan dalam waktu singkat (kurang dari 5 menit)
  3. tidak memerlukan bahan atau tempat yang khusus
  4. dapat dipakai dalam semua situasi belajar anak (juga dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya item kognitif saja)
  5. meningkatkan kepercayaan diri
  6. menunjukkan hasil dengan segera
  7. dapat dijelaskan secara neurofisiologis
  8. sangat efektif dalam penanganan anak yang mengalami hambatan dan stress belajar
  9. memandirikan anak dalam belajar, dan
  10. menolong untuk memanfaatkan seluruh potensi dan ketrampilan yang dimiliki anak. Hal ini diakui  oleh “National Learning Foundation USA” dan menyebarluaskannya di banyak negara, sebagai salah satu tehnik belajar yang baik.

Bagaimana memulai program brain gym ?
1. Air (wonderful water)/H2O
Minumlah sedikitnya 8 gelas besar setiap hari atau 0,3 – 0,4 liter /10 kg berat badan sehari. Minum secara merata di sepanjang hari, bukannya minum banyak di satu waktu. Minum adalah cara terbaik dan paling alamiah untuk mengatasi stress.
Air mempunyai banyak fungsi dalam badan untuk menunjang hal belajar :
Darah lebih banyak menerima zat asam yang diperlukan untuk belajar.
Air melepas protein yang diperlukan untuk belajar sesuatu yang baru.
Air melarutkan garam yang mengoptimalkan fungsi energi listrik di badan untuk membawa informasi ke otak.
Air mengaktifkan system limfa, yaitu system air yang paling besar di badan. Limfa mengangkut zat-zat gizi, hormone dan juga berfungsi sebagai saluran pembuangan.

2. Saklar Otak (brain button)
Stimuli titik (jaringan lunak di bawah tulang selangka di kiri dan kanan tulang dada) sisi kiri dan kanan tulang tengah (sternum), tepat di kedua lekukan selangka (clavikula) dipijat dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menggosok daerah pusar.

Kadang sambil melakukan sakelar otak bayangkan ada kuas di hidung dan menggambar kupu-kupu 8 di langit-langit. Rangsangan titik ini meningkatkan peredaran darah ke otak. Berat otak kira-kira 1/50 dari berat badan, namun untuk fungsi yang optimal diperlukan 1/5 dari peredaran darah.

Tangan di pusat menyeimbangkan impuls-impuls yang berhubungan dengan telinga bagian dalam dan berpengaruh pada kemampuan belajar.

Manfaat : Koordinasi dua belahan otak, meningkatkan lancarnya aliran darah ke otak (zat asam ke otak), meningkatkan keseimbangan badan (terutama sebelum gerakan silang), dan meningkatkan kerjasama kedua mata dan dapat mengurangi juling.

3. Gerakan silang (cross crawl)
Otak mengapung di dalam cairan otak. Cairan otak mempunyai beberapa fungsi seperti melindungi otak dari gegar otak dan juga berfungsi secara elektris. Otak manusia memerlukan sejenis alat elektro kimiawi agar arus listrik dapat mengalir. Jika aliran cairan otak itu tersendat-sendat, maka itu berarti telah terjadi ketidakseimbangan dalam aliran informasi di otak. Ini juga berkaitan dengan sistem informasi antara otak dan badan yang dapat terhambat koordinasinya. Gerakan silang melancarkan peredaran cairan otak sehingga gangguan tersebut dihilangkan.

Diketahui bahwa belahan otak kanan mengontrol belahan tubuh kiri, dan sebaliknya otak kiri mengontrol belahan tubuh kanan. Disamping itu terdapat bagian otak dengan fungsi tertentu misalnya : menyangkut fungsi intelektual, kontrol otot, pengaturan fungsi-fungsi internal tubuh, dan pusat-pusat emosi yang masing-masing berada di tempat yang berbeda-beda.

Perkembangan bayi normal mengarah pada koordinasi kiri dan kanan yang makin serasi. Hal ini merupakan dasar pertumbuhan intelektual dan mental. Gerakan yang sangat menunjang gerakan itu adalah gerakan merangkak. Dasar gerakan inilah yang merupakan awal fungsi koordinasi seimbang.

Air dan sakelar otak membantu kesiapan tubuh dan otak sebelum melakukan gerakan silang. Untuk mengaktifkan indera kinestetik, sentuhkanlah tiap tangan ke lutut yang berlawanan secara bergantian. Gerakan silang ini dilakukan dengan menggerakkan tangan kanan bersamaan dengan kaki kiri dan tangan kiri bersamaan dengan kaki kanan, ke depan, ke samping, ke belakang, atau jalan di tempat. Untuk “menyeberang garis tengah” sebaiknya tangan menyentuh lutut yang berlawanan.

Manfaat : Meningkatkan kesadaran keberadaan tubuh, menghilangkan stress, pikiran menjadi lebih jernih, daya ingat dan daya pikir meningkat, merangasang kelancaran cairan otak, meningkatkan koordinasi tubuh, mempermudah belajar, menyeimbangkan emosi, memperlancar peredaran limfa, mengatur tekanan darah, meningkatkan penglihatan, melancarkan pencernaan, meningkatkan energi tubuh, meningkatkan skor IQ, menghilangkan kekakuan, meningkatkan kesadaran akan kesehatan, dan membangkitkan rasa gembira.


4. Hook Ups
Tahap 1 :
Letakkan kaki kiri di atas kaki kanan dan tangan kiri di atas tangan kanan dengan posisi jempol ke bawah, jari – jari kedua tangan saling menggenggam, kemudian tarik kedua tangan ke arah pusat dan terus ke depan dada.
Tutuplah mata dan pada saat menarik napas lidah ditempelkan di langit – langit mulut dan di lepaskan lagi pada saat menghembuskan napas.

Tahap 2 :
Buka silangan kaki dan ujung-ujung jari kedua tangan saling bersentuhan secara halus di dada atau di pangkuan , sambil bernapas dalam 1 menit lagi.
Latihan energi ini menghubungkan semua lingkungan fungsi bio listrik tubuh. Kekacauan aliran energi dapat diatur kembali apabila energi beredar dengan lancar di bagian tubuh yang tadinya tegang, sehingga jasmani dan jiwa merasa lega.
Posisi tangan dan kaki dalam bentuk 8 (Bagian I) sesuai dengan aliran energi dalam tubuh. Menyentuh ujung-ujung jari tangan (Bagian II), menyeimbangkan dan menghubungkan dua belahan otak. Ditambah dengan menempatkan lidah di langit-langit mulut, maka perhatian dipusatkan pada otak bagian tengah. Emosi di dalam sistem limbis dihubungkan dengan otak bagian dahi sehingga anak lebih seimbang secara emosional dan lebih mampu menyesuaikan dengan tuntutan belajar.
Manfaat : Pemusatan secara emosional (mengurangi kepekaan yang berlebihan), Lebih rileks, perhatian seksama, keseimbangan jasmani dan koordinasi, lebih percaya diri, dan pernafasan lebih baik.

sumber; disini

SUKA DUKA MEMILIKI ANAK SPESIAL



Apa ada Mommies di sini yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus? Kalau ada, mari berpelukaaan ala Teletubbies dulu. Hihihi. Saya pernah bercerita bahwa ‘anak saya  terinfeksi Rubella’ atau nama kerennya Congenital Rubella Syndrome. Karena virus itu, anak saya, Ubii (1 tahun sekarang), motoriknya sangat terlambat dan terkena profound hearing loss sehingga sampai saat ini ia belum mampu mendengar. Motoriknya yang sangat delayed mengharuskan ia difisioterapi seminggu tiga kali selama satu jam. Dan, puji Tuhan, kini Ubii sudah lancar tengkurap sendiri walau kepalanya masih belum kokoh.
Jika ditanya apa berat memiliki anak yang spesial? Jawabannya pasti berat. Semua terkuras, baik itu biaya, waktu, tenaga, dan lain-lain.
Pertama, dari segi finansial. Saya sampai saat ini masih susah menabung karena semua penghasilan diutamakan untuk pengobatan Ubii. Kemudian dari segi waktu, rasanya 24 jam dalam sehari itu sangat kurang. Susah rasanya punya me time yang nyaman karena siang harus melatih motorik Ubii dan malam harus membawanya terapi, baru mengerjakan pekerjaan kami. Dari segi tenaga, jangan ditanya bagaimana letihnya. Mengurus rumah, bekerja, membawa Ubii terapi, dan melatih dia seharian di rumah itu kadang melelahkan. Tapi, tentu, harus dijalani dengan hati yang ikhlas bukan? :)
Ubii sedang fisioterapi
Hal-hal tersebut, selama ini masih bisa saya dan suami kesampingkan. Tapi ada satu hal lagi yang kalau boleh saya golongkan ke dalam golongan ‘duka’, yaitu adalah cara orang-orang menatap atau memperlakukan Ubii. Dari awal, tentunya saya sudah kenyang dengan tatapan heran orang terhadap Ubii yang secara fisik sangat tidak terlihat sebagai anak berusia satu tahun. Di tempat umum, misalnya, pertama kali mereka melihat Ubii, mereka memuji kelucuan Ubii. Namun, begitu mereka bertanya usia Ubii dan saya jawab satu tahun, mereka selalu tampak kaget, heran, dan tidak percaya kenapa anak satu tahun kok masih kecil sekali (Ubii saat ini masih 6 kg) dan masih digendong ala bayi.
Saya sadar bahwa itu tidak bisa dihindari dan saya harus berpikiran positif. Tapi ada kalanya kami letih menjelaskan dan letih menanggapi tatapan heran orang *tarik napas dulu* Kemudian dari cara orang lain memperlakukan (baca: membedakan) anak kita dengan anak yang normal dan sehat. Hal ini misalnya anggota keluarga atau tetangga atau pembantu rumah tangga yang terlihat lebih sayang dan lebih bersemangat bermain dengan sepupu anak kita yang normal dan sehat. Clearly, we know that is inevitable. Tapi, sebagai seorang ibu, tentu tetap ada sekelibat perasaan sedih melihat Ubii ‘dibedakan’. Rasanya saya ingin berteriak “Hei, lihat saja, suatu saat nanti Ubii akan tunjukkan kalau ia punya banyak hal yang bisa dibanggakan’ dan lain sebagainya.
Cerita saya ini bukan ajang mengeluh, kok, hehehe. Saya senang sekali karena ternyata banyak hal yang bisa digolongkan di kategori ‘suka.’
Pertama, dengan Ubii yang spesial, saya dan suami jadi jauh lebih bersyukur untuk apa pun. Kami tidak lagi jadi orang tua yang memberi target pada anak untuk bisa melakukan A atau B atau C di usia sekian. Kedua, hubungan saya dan suami pun menjadi lebih solid dan kompak karena kami yakin bahwa Ubii membutuhkan kami berdua. Akhirnya kekompakan itu datang dengan sendirinya (padahal dulu sih sering berantem galau, hihihi). Kemudian, suami saya menjadi suami sigap dan siaga. Ia tidak segan turun tangan mengurus Ubii. Percaya tidak percaya, bahkan dia lebih khatam memandikan, menyuapi, meninabobokan, dan meminumkan obat Ubii daripada pembantu rumah tangga atau neneknya. Untuk ini saya sangat bersyukur.
Lalu, kami jadi lebih ada untuk Ubii. Kami jadi lebih menghargai waktu kebersamaan kami dengan Ubii, meghargai waktu di mana ia sedang ceria dan aktif, dan lain-lain. Semua perkembangan dan kemajuan Ubii, sampai saat ini, masih saya dan suami yang jadi saksi pertamanya. Dan untuk itu, saya sangat bersyukur.
Tentu ada masa di mana kami letih, jenuh, dan butuh refreshing. Di waktu-waktu yang memungkinkan dan budget ‘senang-senang’ ada, kami menitipkan Ubii di rumah neneknya dan kami pergi nonton atau ngopi-ngopi atau makan di luar. Dua sampai tiga jam di luar rasanya sangat berharga. Kami kembali dengan segar dan siap untuk mengurus Ubii lagi. Jika sedang pailit, pilihan kami ada dua. Satu, pergi ke warnet yang memiliki koleksi film yang lengkap, mendownload beberapa film, dan membeli camilan. Kami tunggu sampai Ubii tidur dan malamnya kami ber-movie night sampai pagi (terus besok paginya bangun kesiangan, hihihi). Kedua, kami meminjam komik yang kami sukai dan membaca komik tersebut di kamar. Hal sesederhana itu rasanya mewah buat kami dan sejauh ini hal tersebut lebih dari cukup.
Bagaimana dengan Mommies? Apa ada yang memiliki anak yang spesial juga? Jika ya, apa suka dukanya? Dan bagaimana cara Mommies menyenangkan diri saat letih dan jenuh? Jika ada masukan untuk kami, saya akan sangat senang sekali. Jika Mommies yang merasakan duka kategori duka saya, kita saling memberi pukpuk ya, hihihi.
Tetap semangat yuk, you’ll never know how strong you are until being strong is the only choice you’ve got.




Mudahnya Ucapkan Maaf

Ibu, maafin Bumi, ya…”
Kalimat ini sering sekali Bumi lontarkan saat ia tahu kalau saya sedang kesal dan marah dengannya. Seringnya, sih, persoalannya karena Bumi sekali dua kali masih tidak bisa menahan buang air kecil di sembarang tempat.
Hal lain yang sering membuat jengkel adalah saat Bumi dengan seenaknya membanting badan ke tubuh saya, sambil bilang, “Smackdown ibu, ah…” Eeerrrrr, mungkin, beberapa bulan lalu, saya masih anteng-anteng saja kalau Bumi mau main Smack Down. Ya, tapiiiiii …. sekarang Bumi, kan, beratnya sudah 20 kg! Sepertinya, bobot tubuhnya sudah nggak bisa saya ditolerir, deh.
Nyebelinnya, setiap saya tanya, “Bumi kenapa nggak Smack Down bapak, saja, sih?” dengan enteng, dia jawab, “Nggak ah, badan bapak nggak empuk kayak ibu.” Hahahhaha, yang ada saya malah jadi cekikikan mendengar jawabannya.
berkata maaf
Sejak dini, saya memang sudah membiasakan Bumi untuk mengatakan kata maaf kalau memang dia salah. Alhamdulillah, setiap kali dia tahu telah melakukan kesalahan, dia pun nggak sungkan untuk minta maaf. Dan ini berlaku tidak hanya untuk saya, tapi juga dengan penghuni rumah yang lain seperti  bapaknya, enin, aki dan mbak di rumah.
Tapi, saya juga nggak mau jika Bumi hanya sekedar minta maaf, tanpa dia tahu makna di balik kata maaf itu sendiri. Apalagi kalau setelah minta maaf, dia kembali mengulangi kesalahnnya. Jadi, sebisanya setelah Bumi meminta maaf, saya akan mengajaknya ngobrol dan memberitahukannya mengapa saya tidak suka dengan sikapnya.
Lagipula, bukankah kata maaf merupakan salah satu kata ajaib yang harus diingat dan sering dipraktikkan? Pelajaran ini juga saya dapatkan dari kedua orangtua saya. “Jadi orang itu nggak boleh pelit ngomong maaf, terima kasih, dan tolong,” begitu nasihat mama saya dulu.
Beberapa waktu lalu saya juga sempat berbincang dengan Adisti F. Soegoto, M. Psi. Salah satu psikolog dari Kancil ini mengatakan bahwa jangan sampai kata maaf ini dijadikan sebagai lips servicesemata. “Maksudnya, murah mengucapkannya, sedikit-sedikit minta maaf, namun tidak ada ada perubahan atau aksi selanjutnya untuk melakukan perubahan,” ujarnya.
Psikolog yang kerap disapa Disti ini juga mengutarakan bahwa, memang tidak semua orang mudah mengatakan kata maaf. Penyebabnya bukan hanya sekedar karena gengsi, tapi lebih luas dari itu. Menurutnya sulit mengucapkan kata maaf tidak berkaitan dengan masalah gander, baik laki-laki atau perempuan banyak yang susah mengucapkan kata maaf.
“Namun untuk laki-laki, karena sejak kecil sudah dididik dengan pola asuh dan pandangan bahwa laki-laki itu harus kuat, laki-laki itu sebagai pemimpin, tidak boleh cengeng, atau yang lainnya, hal inilah yang bisa menyebabkan laki-laki susah mengucapkan kata maaf. Tapi, bukan berarti tidak ada wanita yang sulit mengucapkan kata maaf, lho” ujarnya.
Jika kata maaf telah diucapkan namun tidak diiringi dengan perubahan, ya, percuma.  Alhasil, kata maaf akhirnya terdengar sia-sia. Karena nggak mau Bumi hanya menjadikan kata maaf sebatas lips service, akhirnya saya mencoba mengajarkan Bumi supaya bisa melanjutkan sebuah aksi setelah mengucapkan kata maaf.
Caranya,seperti yang saya bilang di atas, saya akan mengajak ngobrol Bumi setelah ia meminta maaf. Saya mencoba menjelaskan dan mengutarakan mengapa ia tidak salah dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Dengan begitu, saya berharap Bumi dapat paham dan mengerti bahwa kekesalan saya ini berdasarkan rasa sayang dan perduli.
O, ya … meskipun saya ibunya, saya pun nggak sungkan, kok, mengaku salah dan bilang maaf ke Bumi. Dan saya rasa Mommies yang lain juga begitu, kan?

sumber; disini

8 Kiat Berkomunikasi dengan Anak Autis

[autiskita.com] Berikut ini adalah kiat berkomunikasi dengan anak autis:
1.    Bicara lambat dan jelas, dan jangan mengharapkan respon langsung dari mereka.
2.    Berlaku sabar, lembut dan jangan bosan berusaha tetap berkomunikasi dengan mereka. Namun, jangan memburu mereka.
3.    Berilah perintah secara langsung saat menjelaskan tentang aturan pada mereka. Ajarkan mereka kata-kata yang menggambarkan emosi.
4.    Gunakan bahasa dan cara komunikasi yang sederhana, jangan berlebihan.
5.    Jangan memaksa anak untuk melakukan kontak mata atau sentuhan, jika ia tidak mau.
6.    Tunjukkan minat untuk berkomunikasi dengan mereka, namun usahakan untuk melakukan pembicaraan secara bergantian.
7.    Tunjukkan dalam bentuk perbuatan, beri waktu pada mereka untuk melihat dan mengobservasi.
8.    Perhatikan petunjuk atau komunikasi nonverbal (ekspresi wajah, gestur, nada suara) yang mereka keluarkan.



sumber: dari berbagai sumber
 
Copyright © 2013. Pusat Layanan Autis Kalsel Kalsel- All Rights Reserved