“Pagi bu ...maaf mengganggu. Mau konsultasi.”
Kalimat yang ‘biasa’ ini, diikuti rangkaian kata yang membuat saya terkesiap...
“Kira-kira
Oktober 2013 mobil kami ditabrak dari depan. Saya yang mengemudi, anak
saya remaja autistik duduk di samping saya. Kami tidak salah sama
sekali. Mobil yang menabrak, lepas kendali disupiri anak perempuan
remaja SMA. Saat saya sedang berbicara pada orangtua anak itu, tiba-tiba
anak saya memukul anak perempuan tadi. Anak tersebut, tidak jatuh dan
bahkan tidak terluka.”
“Desember 2013, kami dapat
panggilan dari kantor polisi karena ternyata orangtua anak tersebut
melaporkan kami. Kami disidik. Minggu lalu (Maret 2014), dapat panggilan
lagi. Kata polwan penyidik kami, orangtua anak perempuan itu kepingin
bikin anak saya kapok karena sudah pukul anak mereka. Saya harus
bagaimana, bu? Anak saya beberapa hari ini jadi mendadak diam saja.
Kalau ditanya, apakah takut atau malu, dia bilang ‘aku gak tau, aku
bingung, aku stres’...”
Remaja autistik berusia 16 tahun
yang jadi tokoh di atas, pernah bersekolah di sekolah reguler. Tapi
mencapai jenjang SMP, ia berhenti bersekolah akibat seringnya dilecehkan
dan diganggu (‘bullying’). Ia periang, suka bergaul, ramah. Semenjak
berbagai kejadian itu, ia seperti linglung. Minta sekolah, tapi di
sekolah mudah pukul orang lain. Hampir selalu ada kejadian di sekolah
berupa pemukulan atau protesnya karena ‘orang lain tidak menuruti
kemauannya’. Begitu tidak dituruti, remaja ini memukul atau melempar
gelas dan benda lain di dekatnya.
Semua fakta di atas,
ibarat memberikan penguat pada apa yang saya hadapi sehari-hari sebagai
ibu dengan anak autis. Sedari ia kecil, saya berpikir mau autis atau
tidak, perilaku yang dituntut di masyarakat tentu harus memenuhi standar
tertentu. Maka ia selalu harus bisa menata diri. Marah adalah perasaan
yang lazim, tapi tidak pernah boleh diekspresikan dengan memukul.
Pengendalian diri dan menerima kekecewaan adalah pengalaman yang harus
dilatihkan terus.
Maka ketika saya harus memilih
antara berusaha memasukkannya ke sekolah reguler atau berusaha membuat
sistim pendidikan khusus anak autis, saya memilih yang kedua. Kenapa?
Sejujurnya,
dengan segala hormat, saya tidak pernah bisa percaya bahwa anak-anak
dengan kebutuhan khusus dapat mengikuti pendidikan berbasis kurikulum
nasional. Kurikulum itu mengharuskan anak mampu cepat mengolah
informasi, cepat paham konsep abstrak, hafal banyak informasi dalam
waktu singkat, dan banyak lagi. Sifat unik ABK sangat sulit ikuti proses
ini. Bila dipaksakan, mereka (dan keluarganya) akan tertekan
menghabiskan waktu berusaha penuhi standar kurikulum.
Pertanyaan
yang selalu berkecamuk adalah, pertama, kapan anak bisa ‘belajar untuk
hidup’ dengan sesungguhnya? Belajar kendalikan diri, bersikap baik,
belajar analisa keadaan lalu simpulkan harus berbuat apa, belajar
selesaikan masalah ketika tidak ada orang lain, belajar kelola waktu
luang, menggali bakat dan minat, dan begitu banyak hal yang justru
penting dipersiapkan bagi ABK. Kedua, bagaimana anak-anak ini akan
menggunakan ijazah yang (mungkin) mereka capai? Mungkinkah mereka
bersaing dengan calon pekerja lain berebut lapangan pekerjaan yang
terbatas?
Rasanya sulit.
Maka
belasan tahun lalu saya ambil keputusan untuk fokus pada pembelajaran
non-akademis kepada anak saya dan anak-anak lain. Fokus saya lebih
kepada memberi bekal agar mereka menjadi
pribadi dewasa mandiri,
mampu kelola emosi, dan berperilaku tertib. Dapat menjadi tenaga kerja
yang bermartabat, tidak tergantung kepada orang lain. Bermasyarakat,
tidak paksakan kehendak.
Proses yang masih
diperjuangkan tapi setidaknya sudah memperlihatkan hasilnya. Anak saya,
Ikhsan Priatama kini sudah berusia 23 tahun. Tetap tidak bisa berbicara,
tapi dapat bepergian tanpa keluarganya bahkan untuk menginap meski
dengan pengawasan. Ia tidak punya ijazah dari lembaga apapun, tetapi
sudah punya tabungan atas namanya sendiri dari hasil penjualan
lukisannya. Kini ia sedang belajar mengelola keuangan, belajar memahami
bahwa ‘beli paket lebih bijak daripada beli eceran’, bahwa ‘diskon 70%
itu bagus kalau produk yang dibeli ada gunanya’. Ia bisa mengurusi diri
sendiri, meski tetap tidak bisa ditinggal sendirian. Bila ada yang
kurang berkenan baginya, ia kendalikan diri dan masuk kamar untuk
berteriak atau marah beberapa menit. Saat sedang di tempat umum dan ada
yang kurang nyaman, memang ia masih beberapa kali tampak ungkapkan rasa
kesalnya secara terbuka, tapi ia dapat diberitahu dan dengan cepat
menenangkan diri.
Kembali kepada kasus pertama yang Anda
baca pada awal tulisan ini, bagaimana sebaiknya kita menyikapi
pendidikan bagi ABK, terutama anak autistik yang makin besar jumlahnya
di negara kita ini? Akankah kita hanya fokus pada pencapaian akademis,
atau, akankah kita mulai memberikan porsi penting penanganan terhadap
berbagai aspek non-akademis yang sangat penting bagi kehidupan mereka
kelak di usia dewasa? Saya bersyukur sudah memilih yang kedua.
Bagaimana dengan Anda?
Dyah
Puspita, psikolog. Pendiri Yayasan Autisma Indonesia, pendiri dan
pengurus Yayasan SaPA (Lentera Asa Peduli Autis), pemilik Rumah Belajar
Tata, ibu dari Ikhsan Priatama, autis non-verbal, 23 tahun.
sumber: http://www.portalkbr.com/opini/opinianda/3193812_4308.html