Temple Grandin pemuda autis yang sering dikucilkan oleh lingkungan
sekitarnya baik teman, keluarga, guru dan sahabat dekat setelah dia mengidap
autis. Grandin panggilan akrabnya, mengembangkan pola kontak manusia pada binatang. Pengembangan metode manusia
tersebut dia terapkan pada binatang ternak yang ada di dekat rumahnya. Dengan
merawat binatang-binang ternak tersebut Grandin mencoba metode buatanya.
Berangkat dari hal itu semua, Grandin membuktikan pada lingkungannya.
Kesuksesannya pada dunia pendidikan ditorehkan hingga bergelar doktor.
Kemampuan luar biasanya, ditularkan dengan mengajar orang-orang yang dahulunya
sering mengucilkannya.
Sebuah cuplikan film yang berjudul Temple Grandin, perjalanan hidup yang
dituangkan dalam sebuah film yang digarap apik oleh sang sutradara. Lewat film
tersebut membuktikan bahwa seorang pemuda autis bisa menunjukan potensi dirinya
meskipun terdiskriminasi oleh lingkungan.
Apa itu Autisme ?
Perjalan cerita Temple Grandin di atas tentunya menjadi motivasi besar
tanpa memandang sebelah mata mereka penyandang autis. Autis dalam bahasa Yunani
yang berati auto (sendiri), autis menyerang seseorang yang suka menyendiri.
Autis merupakan gangguan perkembangan pada anak balita hingga usia tiga tahun.
Bersikap cuek, menyendiri, tidak mau menatap mata, menyakiti diri sendiri,
kecenderungan melakukan hal yang berulang, dan sulit untuk mengontrol gerak
motoriknya menjadi ciri-ciri terkenanya gangguan perkembangan atau autis.
Autis ditemukan pertama kali oleh seorang ahli kesehatan jiwa bernama Leo
Kanner pada tahun 1943. Kanner menjabarkan tentang 11 pasien kecilnya yang
berperilaku aneh yaitu asyik dengan dirinya sendiri, seolah-olah hidup dalam
dunianya sendiri dan menolak berinteraksi dengan orang lain di
sekitarnya. Kanner menggunakan istilah “autism” yang artinya hidup dalam
dunianya sendiri. Kanner berhipotesa bahwa pada anak autis terjadi gangguan
metabolisma yang telah dibawa sejak lahir. Namun karena pada masa itu alat-alat
kedokteran tidak memungkinkan Kanner melakukan penelitian, maka hipotesanya
belum dapat dibuktikan.
Perkembangan dan Sebab Autis di Indonesia
Autis telah ditemukan sejak tahun 1943, penyebab pasti akan gangguan autis
yakni pada seorang anak memiliki kelemahan dalam berkomunikasi, berinteraksi
sosial dan berimajinasi dengan orang lain ini, masih belum diketahui.
Terbatasnya informasi soal autis ini membuat banyak orangtua seringkali keliru
dalam memahami dan menangani anaknya yang autis.
Sejauh ini banyak disebut soal penyebab timbulnya autis. Mulai dari faktor
gaya hidup, polusi udara, narkotika, makanan yang tercemar limbah, misalnya
ikan laut, dan sayuran yang masih mengandung pestisida, keracunan logam berat,
virus dari vaksin, alergi, dan lain-lain. Namun secara ilmiah medis, belum ada
kesepakatan soal penyebab autis ini. Sebagian para ahli menduga adanya faktor
genetis, tetapi ini pun belum ada bukti ilmiah yang sahih.
Sementara, gejala autisme yang menyerang Indonesia muncul sekitar tahun
1990. "Gejala ini muncul pada siapa saja, tidak peduli ras, pendidikan
maupun golongan ekonomi sosial," kata dr. Melly Budhiman Ketua Yayasan
Autisma Indonesia (YAI).
“Kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang autisme membuat
penanganan yang dilakukan tidak maksimal. Padahal autisme membutuhkan
penanganan jangka panjang, tidak bisa main instan alias cukup sekali datang”
tambah dr Melly saat seminar di Graha Scovindo.
YAI melihat kurangnya tenaga profesional dalam menangani anak autis di
Indonesia menjadi salah satu penyebab penanganan yang tidak maksimal. Hal ini
masuk akal, sebab negeri ini baru mempunyai 40 psikiater anak yang khusus
menangani masalah autisme. YAI sendiri memandang penting upaya sosialisasi
mengenai autisme sehingga masyarakat bisa memahami secara benar informasi dan
penanganannya. Serta dapat mengedukasi masyarakat yang belum mengerti autisme,
sehingga tidak ada lagi penghinaan, ejekan, maupun pelecehan terhadap para
penyandang autis.
Penanganan autisme di Indonesia berjalan lambat, juga karena banyaknya permasalahan
lain yang dihadapi. Permasalahan autisme di Indonesia terbilang rumit. Geografi
negara kepulauan ini tidak mendukung untuk dapat menjangkau anak-anak autistik
di pulau-pulau yang jauh dari pulau Jawa. Masyarakat Indonesia yang multietnis
dan multikultur menyebabkan penanganan autisme sangat beragam. Entah
sampai kapan penyandang autis akan bisa berkurang, riset-riset tentang autis
yang belum mendalm dan terselesaikan tentunya akan menjadi bak misteri yang tak
terungkap. *Athurtian
Sumber: Majalah Rumah Autis 2008