Aneka Terapi untuk Aneka Autisme

AUTISME bukan semacam vonis yang tak bisa ditawar lagi. Ada sejumlah terapi yang bisa dilakukan. Menurut Melly Budhiman, Ketua Yayasan Autisme Indonesia, semakin cepat dilakukan penanganan terhadap penderita autisme, hasilnya akan semakin baik pula. Terapi yang dilakukan sejak dini dapat menghilangkan gejala yang umumnya terjadi pada anak autis, hingga akhirnya si anak bisa sejajar dengan temannya yang lahir normal.
Ada bermacam terapi. Namun terapi untuk penderita autisme biasanya berbeda-beda, bergantung pada kebutuhan masing-masing. Waktu terapi dan keberhasilannya juga tidak sama. Peran serta orang tua dengan rajin mengulang terapi di rumah, tingkat kecerdasan anak, serta ringan atau beratnya autisme akan sangat berpengaruh. Berikut ini beberapa jenis terapi yang sering dilakukan.

Terapi Okupasi
Penderita autisme biasanya mendapati kesulitan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Bukan cuma itu, mereka juga tidak tahu bagaimana menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari. Padahal, bagi anak-anak normal, pekerjaan seperti itu mudah saja dilakukan.
Problem ini timbul lantaran penderita autisme umumnya mengalami gangguan motorik. Untuk mengembangkan motorik halusnya, terapi okupasi adalah salah satu jalan keluar.
Ada beberapa latihan yang dilakukan, antara lain latihan berkonsentrasi menyusun barang-barang kecil (meronce) yang melibatkan kerja otak, mata, dan tangan secara bersama-sama. Untuk melatih motorik tangan, penderita autisme juga diajari cara memegang pensil, pulpen, atau sendok dengan benar. Pada terapi ini, biasanya diajarkan juga melakukan kegiatan sehari-hari (activity daily living) seperti cara memakai topi, sepatu, dan baju. Juga bagaimana cara makan dan minum tanpa bantuan orang lain, membedakan benda-benda yang kasar dan halus, serta melatih indra penciuman seperti mencium bau atau wangi.
Terapi Wicara
Bukan rahasia lagi, kemampuan berbicara penderita autisme berkembang dengan amat lambat. Saat teman-teman sebayanya sudah pandai bercerita, anak autis biasanya sulit sekali bersuara sekalipun untuk sepatah kata. Kalaupun akhirnya mengoceh, suara dari bibir mereka terdengar aneh dan sering seperti gumaman yang sulit dimengerti.
Dengan terapi wicara, kemampuan berbicara anak autis jadi terdongkrak. Mereka yang telah sukses menjalani terapi ini akan mudah bercakap-cakap. Bahkan ada beberapa anak autis yang kemampuan bahasanya di atas anak-anak normal sebayanya.
Ada sejumlah latihan yang mesti dilakukan: bertepuk tangan dengan ritme yang berbeda-beda, mengimitasi bunyi vokal, mengimitasi kata dan kalimat, belajar mengenal kata benda dan sifat, merespons bunyi-bunyi dari lingkungan sekitar dan belajar membedakannya, mengembangkan kemampuan organ artikulasi, belajar berbagai ekspresi yang mewakili perasaan (sedih, senang, cemas, sakit, dan marah), menangis, berlatih mengangguk untuk mengatakan "ya", menggeleng untuk "tidak", dan lain-lain, juga belajar merangkai kata, frase, dan kalimat. Untuk alat bantu, biasanya digunakan gambar ataupun benda.
Terapi Tingkah Laku
Patuh adalah salah satu kesulitan yang sering dialami penderita autisme. Terapi tingkah laku meliputi pelbagai hal. Misalnya, diajarkan bagaimana duduk diam dengan tangan dilipat di atas meja. Biasanya terapis akan menggunakan kalimat perintah yang agak keras untuk membuat anak berkonsentrasi. Penderita autisme lebih banyak tenggelam dalam dunianya sendiri dan, karena itu, akan diajak berkomunikasi dengan orang lain, termasuk melalui kontak mata.
Salah satu metode yang terkenal untuk mengajarkan terapi tingkah laku adalah Applied Behavior Analysis (ABA) atau sering disebut pula metode Lovaas. Diadopsi dari nama penemunya, metode ini baru diterapkan di Indonesia sekitar tahun 1997. Dengan cirinya yang terstruktur, terarah, dan terukur, metode ini memudahkan orang tua memantau perkembangan anak mereka.
Materi yang diajarkan antara lain memasangkan benda-benda seperti piring dengan gelas dan mengidentifikasi benda-benda di sekitar. Si penderita misalnya diminta mengambil benda yang disebut oleh terapis serta melakukan pekerjaan yang diperintahkan. Selain itu, diajarkan pengetahuan akademis dalam tingkat yang sederhana, misalnya belajar mengenal huruf dan angka.
Model ini juga mengajari anak autis memfokuskan perhatian dan bersosialisasi dengan teman-temannya, dua hal yang sangat sulit dilakukan oleh penderita.
Fisioterapi
Penderita autisme biasanya juga mengalami gangguan pada motorik kasarnya-selain motorik halus. Problem yang kerap timbul antara lain anak tidak bisa berjalan dengan menjejakkan telapak kakinya ke lantai (berjalan jinjit). Anak autis juga kerap sulit mencontoh gerakan yang diperagakan terapis, misalnya memainkan tangan, kaki, atau kepala. Untuk mengatasinya, bisa diterapkan fisioterapi.
Bentuk terapi latihan fisik ini antara lain senam untuk menguatkan otot, peregangan (stretching), pijatan di daerah otot yang tegang, dan latihan keseimbangan.
Pelaksanaannya berbeda untuk tiap penderita, tergantung masalah yang dialami. Ada anak autis yang sangat hiperaktif atau sebaliknya terlalu diam dan malas bergerak.
Terapi Air
Penderita autisme umumnya takut dengan air. Padahal latihan yang dilakukan di kolam renang bisa membantu memulihkan kondisi fisik penderita autisme lebih cepat daripada di darat. Sebab, tekanan di dalam air membantu mengencangkan otot-otot, terutama di bagian lengan dan kaki.
Gerakan yang dilakukan sebagian besar hampir sama dengan fisioterapi, antara lain senam dan stretching. Bila penderita sudah mampu mengatasi rasa takut berada di dalam air, latihan akan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan dasar berenang.
Terapi Musik
Tak dapat disangkal, musik adalah sebuah keajaiban. Bukan hanya mempesona bagi mereka yang terlahir normal, musik bisa menjadi salah satu alat bantu terapi.
Terapi musik bisa digunakan sebagai alat bantu untuk memecahkan kebuntuan komunikasi pada anak. Musik adalah alat ampuh untuk mengembangkan kepekaan suara dan mendongkrak kemampuan berbahasa pada anak. Selain itu, terapi ini bisa mendobrak dinding yang seolah memisahkan anak dengan lingkungannya dan mengajari anak bersosialisasi.
Metode yang dilakukan antara lain mengenalkan musik melalui bunyi atau lagu. Selanjutnya, anak akan meniru lagu yang diputar dan melakukan gerakan seperti dalam lagu. Cara ini bisa meningkatkan fungsi indra pendengaran dan merangsang kemampuan berbicara.
Terapi Medikamentosa
Dalam pelaksanaannya, terapi ini tidak bisa dilakukan tanpa pengawasan dokter yang berwenang. Pemberian obat-obatan ataupun vitamin dosis tinggi tidak boleh sembarangan. Sebab, dampak yang akan terjadi pada tiap penderita autisme berbeda-beda. Terapi bergantung pada gangguan yang terjadi.
Ada beberapa gejala yang sebaiknya dihilangkan dengan pemberian obat-obatan, yaitu saat anak terlalu hiperaktif, menyakiti diri sendiri dan orang lain (agresif), merusak, dan sulit tidur. Meski begitu, harus dicamkan, obat bukan untuk menyembuhkan, melainkan untuk menghilangkan gejala saja.
Pemberian vitamin B (B6 dan B15) dosis tinggi pada sebagian anak dapat menimbulkan dampak positif. Sedangkan untuk obat-obatan biasanya digunakan obat antidepresi yang dapat meningkatkan jumlah seretonin di dalam otak.
Terapi Diet
Mengatur pola makan adalah hal penting lainnya yang harus dilakukan pada penderita. Ada beberapa makanan yang harus dihindari, antara lain camilan yang mengandung gluten, kasein, serta zat lain seperti penambah rasa (MSG), pewarna makanan, gula sintetis, dan ragi yang digunakan untuk fermentasi makanan.
Gluten adalah protein yang didapat dari tepung terigu seperti sereal gandum, barley, dan oat, juga makanan yang dibuat dari olahan tepung terigu seperti mi, roti, dan kue kering.
Kasein merupakan protein yang berasal dari susu hewan serta hasil olahannya seperti keju, susu asam, dan mentega. Sebagai gantinya, bisa diberikan susu yang diolah dari kedelai, kentang, almon, dan lain-lain.

Dewi Rina Cahyani


sumber : http://www.autis.info
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. Pusat Layanan Autis Kalsel Kalsel- All Rights Reserved