Jakarta,
Angka kejadian autisme di Indonesia terus meningkat dan sudah
mengkhawatirkan. Tapi hingga kini permasalahan anak autis masih sangat
rumit dan menjadi dilema bagi penyandangnya. Anak-anak yang memiliki
gejala autis sudah ada sejak zaman dahulu, tapi tak sedikit dari
anak-anak ini yang mendapatkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Lalu
apa saja masalah autisme yang ada di Indonesia?
Anak-anak yang
memiliki gejala autisme sudah ada di Indonesia sekitar tahun 1990.
Awalnya penyakit ini sering dikira hanya penyakit orang kaya saja,
padahal semua orang dari berbagai ras, ekonomi sosial dan tingkatan
pendidikan bisa terkena autisme.
"Angka kejadian autisme di Indonesia cukup meningkat dan sudah
mengkhawatirkan. Tapi hingga kini di Indonesia permasalahan autisme
masih sangat rumit," ujar Dr Melly Budhiman, SpKJ dalam acara Expo
Peduli Autisme 2010, di Gedung Sucofindo, Jakarta, Sabtu (17/4/2010).
Lebih lanjut Dr Melly menuturkan ada 8 permasalahan autisme di Indonesia, yaitu:
1. Geografis Indonesia yang terlalu luas
Indonesia
terdiri dari 17.000 pulau dan hanya sekitar 800 pulau yang berpenghuni.
Hal inilah yang menimbulkan kesulitan dalam menjangkau anak-anak autis
di daerah-daerah. Hingga kini diperkirakan anak autis di Indonesia
bagian timur belum tertangani dengan baik. Selain itu anak-anak autis
yang berada di pulau lain hanya sedikit yang bisa membawa anaknya ke
Jakarta, sedangkan penanganan autisme itu membutuhkan waktu jangka
panjang.
"Karena besarnya luas Indoensia jadinya sulit untuk
melakukan survei atau pendataan mengenai penyandang autis di Indonesia,"
tambahnya.
2. Sulitnya penanganan autis di berbagai daerah
Banyaknya
etnis yang ada di Indonesia juga terkadang menyebabkan adanya persepsi
yang berbeda-beda mengenai penanganan autisme. Pada daerah yang memiliki
kepercayan tinggi terhadap magis-mistis akan lebih percaya jika anaknya
ditangani oleh dukun. Sementara itu didaerah lain ada yang memasung
anak autis karena dianggap memiliki penyakit jiwa.
"Banyak dokter
di daerah yang belum begitu mengerti mengenai autisme dan juga tidak
adanya pusat terapi di daerah-daerah atau pusat kesahatan yang
menyulitkan orangtua untuk melakukan penanganan lebih lanjut," ungkap
dokter yang juga menjadi Ketua Yayasan Autisma Indoneisa.
3. Kurangnya tenaga profesional
Anak-anak
yang menunjukkan gejala autisme timbul dalam waktu yang cepat, sehingga
para praktisi kesehatan belum siap untuk mengimbanginya ditambah dengan
pengetahuan yang masih terbatas mengenai autisme. Dr Melly
mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang autisme semakin berkembang.
Hingga kini hanya ada sekitar 40 psikiater anak yang 50 persenya berada
di Jakarta.
Selain itu banyaknya dokter yang belum mengerti
tentang autisme serta kurangnya tenaga profesional menyebabkan seringnya
salah diagnosa seperti dikira anak kurang stimulasi, mengalami gangguan
bicara, ADHD atau keterbelakangan mental. Akibatnya penanganan yang
diberikan menjadi tidak tepat, sehingga perbaikan gejala yang ada
menjadi lebih lambat. Hal ini bisa membuat kondisi anak autis menjadi
lebih berat.
4. Pandangan masyarakat mengenai autisme
Sebagian
besar masyarakat Indonesia belum mengerti tentang autisme. Mereka
memiliki pandangan berbeda-beda terhadap anak autis, ada yang bilang
bahwa anak autis adalah anak nakal yang sulit diatur, anak
keterbelakangan menta, sakit jiwa atau kemasukan roh jahat. Selain itu
tidak semua orangtua mau mengakui kondisi anaknya, masih banyak yang
menolak atau menyembunyikannya karena merasa malu.
"Sayangnya
banyak juga masyarakat atau lingkungan yang tidak mendukung usaha dari
orangtua anak autis. Tak jarang keluarga anak autis seringkali dijauhi
karena dianggap bisa menulari anaknya, atau anak autis sering diejek dan
dijadikan bulan-bulanan oleh teman sebayanya," tambahnya.
5. Terapi yang mahal
Kebanyakan
pusat-pusat terapi hanya berada di Jakarta dan kota-kota besar lainnya
serta sulitnya mendapatkan terapis yang benar-benar mengerti cara
menangani anak autis. Tak sedikit pusat terapi yang hanya bertujuan
mencari uang saja dan terapis tidak dibekali pengetahuan dan kemampuan
yang cukup.
Penyebab autisme sangat kompleks, karenanya tidak ada
satupun obat yang bisa menyembuhkan autisme dengan cepat. Untuk
memperbaiki gangguan yang ada bisa memakan waktu lama bahkan hingga
bertahun-tahun, karenanya tidak semua kalangan bisa membayar terapi
untuk anaknya.
6. Asuransi tidak menerima anak autis
Asuransi
kesehatan memang gencar mempromosikan diri menawarkan jasanya, tapi
sulit sekali mencari asuransi yang mau menerima anak autis. Alasan yang
sering dikemukakannya adalah autisme "penyakit bawaan" yang tidak bisa
disembuhkan. Selain itu banyak kantor yang tidak mau menanggung
pengobatan anak autis karyawannya. Akibatnya penanganan untuk anak autis
ini harus ditanggung sendiri oleh orangtuanya.
7. Permasalahan di sekolah
Setelah
melakukan berbagai terapi selama bertahun-tahun, maka anak-anak sudah
siap untuk masuk sekolah formal. Namun banyak orangtua yang bingung
kemana harus memasukkan anaknya, hampir sulit sekali mencari sekolah
khusus untuk anak autis. Sedikit sekali sekolah umum yang mau menerima
anak berkebutuhan khusus dan terkadang harus membayar lebih mahal.
"Tidak
jarang keberadaan anak autis di sekolah diprotes oleh para orangtua
teman-temannya. Selain itu anak autis juga sering menjadi bahan ejekan
oleh teman-temannya, dan guru yang mengetahuinya kadang tidak melarang
hal ini," ujar staf psikiatri anak di RS MMC Kuningan.
8. Peran pemerintah masih minim
Peran
pemerintah hingga kini masih minim dan belum bisa berbuat banyak untuk
anak-anak autis di Indonesia. Padahal jika anak-anak ini tidak
tertangani dengan benar akan membuatnya tumbuh menjadi sosok dewasa yang
tidak bisa mandiri dan tidak mampu menghidupi diri sendiri. Hal ini
tentu saja akan menajdi beban bagi keluarga maupun pemerintah.
"Masyarakat
yang belum megerti perlu diberikan edukasi mengenai autisme, sehingga
tidak ada lagi penghinaan, ejekan, pelecehan ataupun bullying. Dan dibutuhkan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah untuk membantu anak-anak autis," tambahnya.
(ver/ver)
sumber : klik disini
Posting Komentar