Penderita Autis, Pendidikan serta Penanganan



Penderita autis memiliki beberapa karakteristik seperti kesulitan berkomunikasi dan bersosialisasi. Penderita autis tidak tahu bagaimana mengekspresikan kesenangan atau kesedihannya. Mereka juga tidak tahu caranya berkomunikasi.
“Seorang anak penderita autis tidak tahu bagaimana cara memanggil ibunya, mereka akan menyakiti diri sendiri, memukul dirinya hingga ibunya datang, begitulah salah satu cara mereka memanggil ibunya,” ujar Roselyn.
Menurut Roselyn, penderita autis seringkali berbicara dengan nada yang monoton dan tanpa ekspresi. Terkadang mereka mengulang-ulang perkataan orang lain yang mereka dengar, atau biasa disebut echolalia.

Selain lemah berkomunikasi, penderita autis seringkali bertingkah aneh seperti selalu mengulangi kegiatan yang sama setiap harinya. “Misalnya mereka memakai seragam sekolah. Pertama pakai baju, kedua pakai celana, ketiga pakai sepatu, selalu teratur karena mereka sulit meng-organize,” ujar Roselyn.
Roselyn juga mencontohkan, seorang muridnya yang menderita autis tidak memiliki ketakutan akan bahaya. “Seorang murid saya yang berusia dua tahun suka naik ke lantai empat, mencondongkan tubuhnya ke bawah, hanya untuk mendapatkan sensasi ngeri, dia tidak tahu itu bahaya,” ujarnya.
Selain itu, anak penderita autis juga memiliki obsesi berlebih terhadap sesuatu. Misalnya mereka terobsesi terhadap angka, maka mereka akan terus memperhatikan angka-angka, atau terobsesi terhadap tali, mereka akan memaimkan tali terus menerus. “Penderita autisjuga peka terhadap sentuhan. Mereka bisa tersakiti hanya karena sentuhan kecil,” katanya.
Meskipun demikian, ada kelebihan unik yang dimiliki anak penderita autis. Mereka dapat mengingat informasi secara detil dan akurat. Ingatan visual mereka juga sangat baik dan mampu berkonsentrasi terhadap subyek atau pekerjaan tertentu dalam periode yang lama.
Anak penderita autis membutuhkan perlakuan khusus dan penanganan sejak dini. Ada beberapa penanganan yang dapat dilakukan seperti memberikan pendidikan khusus, occupational therapy seperti terapi untuk penderita stroke, terapi bicara dan terapi bahasa, terapi fisik dengan melatih
otot-otot mereka, applied behavioral analysis
untuk membantu mengenal perilaku mana yang positif atau negatif, picture exchange communication system, yang merupakan metode belajar melalui gambar, mengekspresikan kata melalui gambar yang mudah ditangkap penderita autis.
TAK hanya anak normal yang berhak mendapat pendidikan, anak penyandang autis pun memiliki hak yang sama. Pemerintah malah mengimbau kepada para penyandang autis harus mendapatkan perhatian khusus.
Undang-undang mengatakan bahwa semua warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang sama. UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 mengamanatkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Eko Djatmiko Sukarso mengatakan, ”Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penyandang autis,”sebutnya.
Menurut dia, semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).Namun begitu, Eko menyebutkan, Diknas memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang Autis.Alasannya, karena setiap sekolah memiliki kebutuhanyang berbeda dalam mendidik penyandang autis.
Untuk memastikan penyandang autis mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang baik, Diknas telah mengisyaratkan kepada semua sekolah autis di Indonesia agar tidak mempekerjakan guru yang tidak memiliki sertifikat yang terkait dengan penyandang autis. Penyandang autis harus mendapatkan perhatian yang khusus. Data yang dimiliki Departemen Nasional menyebutkan, jumlah penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar masyarakat.
Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis hingga kini berjumlah 1.752 sekolah. Jakarta sendiri memiliki 111 sekolah untuk para penyandang autis. Sudah barang tentu kurikulum dan pendekatanyang diberikan sekolah berkebutuhan khusus ini pun berbeda dari sekolah pada umumnya. Psikolog dari sekolah khusus autis Mandiga Dyah Puspita mengatakan, kurikulum untuk autis, bahkan dibuat berbeda untuk tiap individu.
Mengingat masing-masing individu memiliki kendala dan kebutuhan tersendiri. Misalnya ada anak yang butuh diajarkan komunikasi dengan intensif,ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri. Sementara ada pula yang perlu hanya fokus pada masalah akademis. Untuk itu,beragam terapi yang berbeda pun diberikan kepada anak-anak penderita autis.Kepala Sekolah AGCA Centre Bekasi Ira Christiana mengatakan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis.
Di antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas,dan fisioterapi.”Terapi apa yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya,”katanya. Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun, berbeda dengan penyandang autis di bawah umur lima tahun.Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. ”Ini wajib hukumnya karena mereka sudah waktunya untuk sekolah,” ujar Ira.
Jika penyandang autis yang berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali,maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan saraf motorik kasar dan halus. Sebaliknya, penyandang autis yang sudah bisa bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler. Dengan catatan, mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis. Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi perilaku dan wicara.
Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan,meniru, dan okupasi.Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, maupun melafalkan huruf A dan melafalkan konsonan. Bagi pelaku pendidikan yang berkecimpung dalam dunia pengajaran untuk anak autis ini mengaku, mereka mendapatkan kebahagiaan tersendiri bila melihat siswa didiknya ditempatkan di sekolah reguler.”Itu berati kami berhasil mendidik mereka (siswa) sehingga mereka dapat bergaul dengan temanyang normal,”kata Ira.
Rasa senang tak pelak menghampiri Ira jika siswa didiknya mengalami kemajuan yang pesat. Seperti jika mereka mampu menyebut kata mama atau papa. Menurut Ira,kemajuan setiap anak berbeda, tergantung dari kemampuan mereka menerima rangsangan dari luar. Di tengah segala keterbatasanyang dimiliki, anak-anak berkebutuhan khusus pun memiliki bakat tersendiri. Di sinilah peran orang tua untuk melihat secara jeli bakatyang dimiliki anak.
Theresia Tristini menyadari bahwa putranya, Ryan, memiliki bakat melukis. Kendati penyandang autis,dengan lincah Ryan mengoleskan kuas di atas kanvas.”Lewat melukis,Ryan seakan mengomunikasikan pikirannya dan membuatnya menjadi ekspresif,”ujarnya. Menurut pelukis Aliantoyang kerap mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus, pada usia lima tahun mereka sudah dapat diarahkan untuk melukis.
Dan jika kemampuan itu terus diasah, dalam kurun waktu hampir empat tahun, para pelukis muda yang menyandang autis tersebut, telah dapat melukis dengan lebih baik. ”Tergantung dari si anak sendiri,” kata Alianto yang juga merupakan pemilik Rumah Belajar ini. Alianto mengaku, untuk membimbing anak-anak berkebutuhan khusus ini tidaklah mudah.Karenanya, membutuhkan pendekatan tersendiri agar si anak mau melukis dan dapat bekerja dengan fokus.
”Awalnya saya menyuruh mereka menggambar sebuah objek. Lalu saya bilang, ‘kalau hanya satu gambarnya kurang bagus’.Mereka lalu menggambar objek lain untuk melengkapi lukisan,”ujar Alianto. Alianto menambahkan, sebenarnya setiap anakyang sedang melukis, sebaiknya didampingi orang tua.Terlebih lagi mereka yang berkebutuhan khusus tersebut. Sayangnya, masih banyak orang tua dari anak berkebutuhan khusus ini, yang tidak memperhatikan pentingnya ihwal pendampingan tersebut dan hanya menyerahkan sepenuhnya kepada guru lukisnya.
Hal ini dibenarkan ketua Yayasan Autisma Indonesia dr Melly Budhiman. Menurut dia, proses pendampingan tersebut bertujuan memberikan motivasi kepada sang anak dalam mengembangkan karya mereka. Bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini,melukis bukan sekadar pemuas hobi. Lebih dari itu,melukis berfungsi sebagai terapi untuk melatih motorik si anak.
Kasih sayang serta kesabaran ekstra merupakan pendekatan yang kerap terabaikan dalam pendidikan anak autis di sejumlah klinik terapi. Karena upaya membentuk perilaku positif terhadap mereka tanpa sadar cenderung bernuansa kekerasan, maka anak menjadi trauma, takut mengikuti terapi, atau orangtuanya yang tidak terima.”Bahkan, terkesan pembentukan perilaku pada anak autis seperti mendidik perilaku hewan. Misalnya, menyuruh duduk dengan mata melotot, bentakan, teriakan. Kalau tidak menurut disentil, dijewer, dan tindakan kekerasan lain,” ungkap psikolog anak Dra Psi Hamidah MSi dalam seminar “Pendidikan Anak Autis dengan Pendekatan Humanistik” yang digelar Perhimpunan Autisme Indonesia pada Kongres Nasional Autisme Indonesia I di Jakarta, Sabtu (3/5).
Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang berat atau luas, dan dapat terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupannya. Penyandang autis memiliki gangguan berkomunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas dan minat yang terbatas serta berulang-ulang (repetitif). Gejalanya misalnya, anak tidak bisa bicara atau terlambat bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti, tidak mau kontak mata, tidak mau bermain dengan teman sebaya.
Ada juga yang gemar melakukan aktivitas berulang-ulang tanpa mau diubah, terpukau pada bagian-bagian benda, seperti senang melihat benda berputar, jalan berjinjit, menatapi telapak tangan, serta berputar-putar. Hal tersebut membuat anak autis seperti hidup pada dunianya sendiri.Metode yang sering diterapkan untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, yaitu Applied Behavior Analysis (ABA) atau metode bivavioristik yang dikenalkan Prof Dr Lovaas di Amerika Serikat. Metode bertujuan membentuk atau menguatkan perilaku positif anak autis dan mereduksi perilaku negatifnya. Namun, pada pelaksanaannya tidak jarang terapis menerapkannya dengan cara-cara yang relatif keras.”Memang benar harus tegas dan konsisten. Tetapi juga harus telaten, sabar, dan penuh kasih sayang. Prinsipnya mengajarkan dengan perasaan. Metode ABA sebenarnya tidak keras seperti itu. Dengan pendekatan lebih manusiawi, kita bisa membentuk perilaku positif pada anak autis,” kata Hamidah.
Menurut dia, apa yang diajarkan terapis harus dilanjutkan orangtua di rumah. Tanpa peran orangtua itu bisa sia-sia. “Waktu di tempat terapi paling hanya empat jam. Sisanya ketelatenan dan kesabaran orangtua sangat amat penting demi kesembuhan dan perkembangan si anak,” tegas Hamidah.
Namun, sejauh yang diketahuinya biaya terapi di berbagai klinik terapi di Indonesia masih relatif mahal sehingga hanya mampu menjangkau kalangan mampu.



sumber : klik disini
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. Pusat Layanan Autis Kalsel Kalsel- All Rights Reserved