DSM V DAN KEKERASAN DALAM RELASI

Oleh: Margaretha
Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
relationship problem
Berbagai penelitian mengenai kekerasan dalam relasi telah membuka mata berbagai profesional dalam kesehatan mental; bahwa persoalan dalam relasi personal berpengaruh kuat pada kesehatan mental manusia. Dalam Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V; 2013) dinyatakan bahwa berbagai bentuk pengalaman traumatik akibat kekerasan dan penelantaran yang dapat dialami seseorang dalam suatu relasi interpersonal dapat mempengaruhi keadaan mentalnya. Pengalaman traumatik yang terjadi dalam relasi, baik dalam hubungan keluarga, pacaran, suami-istri, anak-orang tua diakui menjadi faktor pencetus, penyebab dan yang mempertahankan gangguan mental yang dialami seseorang. Hal ini berbeda dengan penjelasan di DSM IV TR (2000) yang lebih memfokuskan pada problem psikopatologis individu dalam relasi. Oleh karena itu, profesional dalam kesehatan mental perlu memahami persoalan-persoalan dalam relasi interpersonal, terutama yang terkait dengan kekerasan, trauma, dan penelantaran. Hal ini sangat dibutuhkan agar kita dapat secara utuh memahami persoalan mental yang dialami seseorang.

Apakah problem relasi interpersonal?

Problem relasi adalah pola perilaku atau sindrom psikologis yang secara klinis menonjol yang terjadi dalam hubungan antar individu, dimana sering dikaitkan dengan kemunculkan tekanan psikologis, atau hendaya, atau peningkatan resiko kematian, penderitaan, kecacatan atau kehilangan kemerdekaan pribadi (Heyman, Slep, & Reiss, 20).

Jika kita fokus pada problem relasi, yang dimaksud dalam hal ini adalah persoalan yang terjadi dalam relasi interpersonal manusia, seperti: relasi intim (pacaran, suami-istri), relasi orang-tua dan anak, dan relasi antar saudara dalam keluarga, yang memiliki efek signifikan pada status kesehatan individu-individu yang terlibat di dalamnya. Problem relasi, terutama penganiayaan dan penelantaran, dapat menyebabkan trauma yang dapat menimbulkan gangguan medis dan mental (APA, 2013). Bahkan, berbagai penelitian juga menemukan bahwa hubungan intim homoseksual juga mengalami persoalan relasional seperti hubungan intim heteroseksual. Problem relasi dapat menjadi perhatian klinis karena, persoalan ini dapat membuat seseorang mencari bantuan kesehatan, atau sebagai pencetus munculnya gangguan kesehatan, dan pada kelanjutannya akan mempengaruhi diagnosa, jalannya perkembangan gangguan dan penyakit serta pendekatan perawatan yang harus diberikan pada individu yang mengalami gangguan mental akibat problem relasional ini.

Mengapa problem relasi dapat menjadi suatu gangguan mental?

Pada tahun 1940an, seorang terapis J.L. Moreno melakukan serangkaian kajian dalam Psikoterapi Keluarga. Dari sana, ia memahami bahwa hubungan interpersonal yang buruk dapat mempengaruhi perilaku dan kesehatan mental orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jadi dalam perspektif klinis, yang menjadi sumber masalah adalah relasinya, sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya menjadi mengalami gangguan mental. Lebih lanjut, menurut Moreno, berdasarkan pengalamannya lebih baik fokus memperbaiki relasi daripada mencari siapa yang salah atau sakit dalam relasi. Cara yang Moreno tawarkan adalah membantu individu yang berada dalam suatu relasi problematik untuk berpikir dan merefleksikan apa yang tengah dialaminya, dan pemahaman ini dapat digunakan untuk merubah cara pandang dan perilakunya dalam relasi ini. Hingga kini, berbagai praktisi dan penelitian Terapi Keluarga telah mengembangkan pendekatan Moreno untuk menghadapi berbagai persoalan mental manusia.

Perubahan cara pandang atas problem relasi dalam DSM V di 2013

Dalam Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V; 2013), berbagai bentuk problem psikososial yang dapat dialami manusia, terutama terkait dengan problem relasi telah dimasukkan dalam ketegori Kondisi Lain Yang Dapat Menjadi Fokus Perhatian Klinis (condition that may be a focus on clinical attention). Namun yang menarik, bentuk-bentuk problem dalam relasi intim, termasuk kekerasan, telah diuraikan dan dijelaskan sebagai faktor yang mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Problem dalam relasi intim dijelaskan sebagai suatu perasaan, perilaku dan persepsi menyakitkan yang hadir secara konsisten pada dua manusia atau lebih dalam suatu relasi intim, seperti suami – istri, atau orang tua – anak.

Kategori ini mirip seperti kelompok problem psikososial dalam Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders IV-Text revision (DSM IV-TR; 2000) dimana kekerasan dalam relasi intim juga disebutkan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi klinis. Namun, lokus penjelasan munculnya suatu gangguan mental ada lebih diletakkan pada individu dalam relasi bukan pada dititikberatkan pada relasinya. Jika terjadi suatu kekerasan dalam relasi intim, maka sumber penyebab biasanya akan dilihat dari gangguan mental dari salah satu atau semua pihak dalam relasi (atau disebut sebagai gangguan Axis 1). Identifikasi problem relasi dapat dimasukkan di dalam pembuatan diagnosa Multiaksial, teruatama di bawah Axis I sebagai faktor yang dinilai terkait dengan gangguan klinis utama.

DSM V lebih menekankan bahwa persoalan kesehatan mental juga dapat disebabkan suatu relasi yang bermasalah; tidak melulu disebabkan oleh psikopatologi mental yang dimiliki oleh salah satu atau kedua pihak dalam relasi. Indikasi munculnya gangguan relasional adalah hadirnya interaksi yang buruk atau patologis dan hal ini terjadi bukan hanya disebabkan psikopatologi orang yang ada di dalamnya. Contohnya: persoalan ketidakpuasan dalam relasi intim dapat meningkatkan kemungkinan individu mengalami gangguan depresi. Perubahan ini dilakukan setelah mempertimbangkan temuan berbagai riset yang menyatakan bahwa kekerasan dalam relasi interpersonal adalah salah satu faktor psikososial penting terjadinyanya gangguan mental manusia. Oleh karena itu, DSM V telah memasukkan uraian yang lebih detail atas berbagai persoalan relasi dan juga berguna untuk lebih memudahkan ahli klinis untuk mengumpulkan informasi dan mengidentifikasi problem relasi yang dapat menjadi perhatian klinis.

Dalam DSM V, selain problem relasi (relational problem) diuraikan pula secara detail berbagai kondisi dan permasalahan yang dapat menjadi perhatian dalam persoalan klinis, seperti: problem penganiayaan dan penelantaran (maltreatment and neglect problem), problem pendidikan dan pekerjaan (educational and occupational problem), problem perumahan dan ekonomi (housing and economicproblem), problem terkait dengan lingkungan sosial (problem related with social environment), problem terkait dengan kejahatan dan interaksi dengan sistem hukum (problem related to crime or interaction with the legal system), problem terkait akses layanan kesehatan konseling dan medis (problem related to health service encounter for counselling and medical service), dan problem terkait keadaan psikososial, personal dan lingkungan (problem related to other psychosocial, personal, and environmental circumstances). Kondisi-kondisi dan persoalan-persoalan tersebut diakui oleh American Psychological Association (APA) sebagai faktor yang juga mempengaruhi pembuatan diagnosa, prognosis dan perjalanan psikopatologi serta treatment bagi persoalan kesehatan mental individu.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa penting untuk dibedakan bagaimana suatu gangguan relasi intim muncul. Problem relasional rejadi ketika dua orang atau lebih berada dalam suatu hubungan yang bermasalah. Contohnya: ketika seorang ibu menarik diri dari salah satu anak namun tidak dengan anak yang lain, mungkin saja atribusi gangguannya diletakkan pada hubungan yang bermasalah; namun jika seorang Ibu menarik diri dalam hubungannya terhadap semua anaknya, mungkin gangguan dapat diatribusikan pada kondisi mental individual Ibu. ini disebabkan oleh bahwa pemahaman mengenai bagaimana problem relasional yang dihadapi manusia perlu lebih dipahami oleh berbagai profesional dalam bidang kesehatan mental.

Simpulan

Perubahan bagaimana DSM V berusaha menangkap dan memahami fenomena kekerasan dalam relasi intim membuahkan konsekuensi pada usaha membantu kesehatan mental manusia. Usaha peningkatan kesehatan mental juga perlu memperhatikan problem relasi yang dapat mempengaruhi keadaan kesehatan mental manusia. Kali ini cara pandang lebih diarahkan bukan hanya melihat individu dengan persoalan mental dalam suatu relasi, namun juga mempertimbangkan bagaimana pengaruh suatu relasi pada kesehatan mental individu di dalamnya. Profesional dalam bidang kesehatan mental perlu memahami bagaimana mengidentifikasi relasi yang bermasalah dan bagaimana membantu agar relasi tersebut menjadi lebih baik dan pada akhirnya akan membantu kesehatan mental individu di dalamnya.



sumber : klik disini
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. Pusat Layanan Autis Kalsel Kalsel- All Rights Reserved