Recent Post

Kegiatan para terapis setelah berakhirnya jam terapi

Pusat Layanan Autis Kalimantan Selatan
( PLA KALSEL )






Ini Dia Cara Atasi Anak Autis

detail berita
Anak autis (Foto: Google)

Qalbinur Nawawi - Okezone
Browser anda tidak mendukung iFrame Selasa, 9 April 2013 19:19 wib
BAGI orangtua memang berat di awal untuk menerima kenyataan bahwa anak mereka menyandang autis, namun tidak usah  berkecil hati. Pasalnya, anak autis juga bisa menjadi layaknya anak normal bila diberikan penanganan yang tepat.

“Orangtualah hal yang paling utama bagi penanganan autis, karena tempat belajar pertama mereka tentang berperilaku datang dari orangtua. Tidak perlu hal yang rumit-rumit untuk mengajarkan mereka sesuatu. Cukup mulailah dengan menirukan cara meletakkan sendok dan mengambil. Hal ini berguna untuk mereka bisa sendiri nanti bila ingin makan. Simpelnya, itu sekali anak bisa, sampai seumur hidup dia akan bisa mandiri tanpa bantuan orang lain. Itu prinsipnya,” jelas Gayatri Pamoedji SE, MHC, praktisi autisme dari Masyarakat Peduli Anak Autis Indonesia (MPATI) dalam acara seminar bertema Diagnosis Akurat, Pendidikan Tepat dan Dukungan Kuat untuk Menciptakan Masa Depan Anak Autis yang Lebih Baik di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa, (9/4/2013).

Lebih lanjut, dia menjelaskan, dukungan orangtua dan keluarga sangat penting. Hal ini karena membantu bagaimana mereka berprilaku, berinteraksi, dan berbicara kepada orang lain. Selain itu, pendidikan tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan kualitas hidup penyandang autis. Para orangtua harus mulai sejak dini melihat bakat dan potensi agar bisa mendapatkan sekolah yang pas dengan kondisinya.

“Sekolah yang sesuai dengan kondisi penyandang autisme memang sangat penting. Namun, para orangtua jangan berharap banyak dengan perubahan yang terjadi pada anak Anda. Hal ini karena para guru tidak setiap hari mengawasi mereka. Oleh karena itu, balik lagi, orangtualah yang lebih mempercepat perkembangan anak autis bisa lebih mandiri,” tutupnya.
(tty)




sumber : klik disini

Ingin Anak Autis Sembuh? Lakukan Ini

detail berita
Mencari informasi (Foto: Google)

MENYIKAPI diagnosa yang menyatakan anak Anda menyandang autis sangat penting, walau memang saat awal-awal susah. Namun bila Anda bisa menyikapi kondisi itu dengan tepat, anak autis pun berangsur berubah layaknya anak normal.

“Adapun kondisi anak autisme bisa berubah harus ada komitmen dari orangtua untuk melakukan perawatan. Hal ini penting agar saat Anda merasa lelah dan ‘patah’ akan kondisi anak Anda, kondisi itu bisa teratasi tanpa membutuhkan waktu lama,” kata Gayatri Pamoedji SE, MHC, praktisi autisme dari Masyarakat Peduli Anak Autis Indonesia (MPATI).

Dia menjelaskan beberapa penanganan bagi penyandang autis agar lebih cepat membuahkan hasil. Hal paling utama dari semua panduan dengan menerima kondisi anak, karena memang langkah ini bisa dilalui seterusnya dan lebih mudah menjalaninya. Menurutnya, penanganan tidak akan terjadi bila orangtua sendiri belum menerima kenyataan.

Di bahwa ini beberapa panduan orangtua mensikapi anak autis, sebagaimana dijelaskan dalam acara seminar bertema Diagnosis Akurat, Pendidikan Tepat dan Dukungan Kuat untuk Menciptakan Masa Depan Anak Autis yang Lebih Baik di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (9/4/2013).

Cari tahu semua tentang autisme

Mencari tahu ini sangat penting bagi para orangtua, karena setiap penanganan anak autis pasti berbeda dengan yang lain. Untuk mengakses tip dan panduan itu, Anda bisa langsung googling video dan panduan yang sudah disediakan website MPATI.

Mencari aktivitas fisik dan organisasi

Anda bisa memasukan anak ke sekolah Pendidikan Usia Dini (PAUD) di sekitar rumah. Hal ini berguna untuk memicu sensorik organ tubuh dan interaksi kepada orang lain.

Kenali cara menurunkah stres

Menemani anak dalam proses penanganan, pasti suatu saat membuat Anda kesal ataupun frustrasi. Untuk itu, carilah cara menurunkan stres. Biasanya banyak orang menurunkan stres  dengan mendengarkan lagu ataupun mandi, tapi hal itu kembali lagi ke Anda. Anda yang lebih tahu cara menurunkan stres Anda.

Jangan mengeluh

Hal ini karena penanganan autisme membutuhkan napas yang panjang dan waktu yang lama. Untuk itu, jangan pernah mengeluh, harapan selalu ada bagi yang ingin berusaha.



sumber : klik disini

Anak autis juga bisa belajar


Saat si kecil terdiagnosa mempunyai bakat khusus berupa autisme, rasa kaget pasti ada di pikiran Anda. begitu juga dengan kehidupannya nanti. Bagaimana caranya belajar? Bagaimana nanti dengan perkembangannya? Apa yang sesungguhnya dibutuhkan anak autis? Semoga yang di bawah ini dapat membantu menjawab berbagai pertanyaan Anda.
1. Terapi apa yang paling cocok bagi anak autis?
Untuk menentukan terapi yang paling cocok bagi anak autis pada awalnya perlu dilakukan asesmen atau pemeriksaan menyeluruh terhadap anak itu sendiri. Asesmen itu bertujuan untuk mengetahui derajat keparahan, tingkat kemampuan yang dimilikinya saat itu, dan mencari tahu apakah terdapat hambatan atau gangguan lain yang menyertai. Biasanya terapi yang diberikan adalah terapi untuk mengembangkan ketrampilan-keterampilan dasar seperti, ketrampilan berkomunikasi, dalam hal ini keterampilan menggunakan bahasa ekspresif (mengemukakan isi pikiran atau pendapat) dan bahasa reseptif (menyerap dan memahami bahasa). Selain itu, terapi yang diberikan juga membantu anak autis untuk mengembangkan ketrampilan bantu diri atau self-help, ketrampilan berperilaku yang pantas di depan umum, dan lain-lain. Dengan kata lain, terapi untuk anak autis bersifat multiterapi.
2. Apa kendala paling sulit pada saat terapi anak autis?
Kendala pada terapi anak autis tergantung pada kemampuan unik yang ia miliki, ada anak autis yang dapat berkomunikasi, ada yang sama sekali tidak. Namun sebagian besar anak autis memiliki keterbatasan atau hambatan dalam berkomunikasi sehingga ini menjadi kendala besar saat terapi. Anak belum dapat mengikuti instruksi guru dengan baik. Bahkan anak kadang tantrum saat diminta mengerjakan tugas yang diberikan. Terkadang anak autis suka berbicara, mengoceh, atau tertawa sendiri pada waktu belajar.
3. Bagaimana sikap anak autis saat menjalani terapi?
Biasanya anak autis memiliki hambatan atau keterbatasan dalam berkomunikasi. Hal tersebut terlihat dari perilaku mereka yang cenderung tidak melihat wajah orang lain bila diajak berinteraksi, sebagian besar kurang memiliki minat terhadap lingkungan sekitar, dan sebagian cenderung tertarik terhadap benda dibandingkan orang.
4. Apa perubahan yang diharapkan setelah terapi?
Pada akhirnya, anak autis diharapkan dapat memiliki berkomunikasi, yang tadinya cenderung bersifat satu arah menjadi dua arah. Dalam artian ada respon timbal balik saat berkomunikasi atau bahasa awamnya “nyambung”. Kemudian perubahan lain yang juga diharapkan adalah memiliki ketrampilan bantu diri, kemandirian, serta menyatu dan berfungsi dengan baik di lingkungan sekitarnya. Hasil yang menggembirakan tentu sangat diharapkan orang tua anak penderita autis. Ini terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya sehingga tampak berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal, serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak seusianya.
5. Seberapa cepat perubahan akan terlihat?
Perubahan atau kemajuan yang terjadi tentunya bersifat individual. Hal tersebut tergantung pada hasil asesmen, gaya belajar anak autis, dan intensitas dari terapi atau pendidikan yang diberikan serta kerjasama antara orangtua, pengasuh anak dengan para pendidik, terapis atau ahli kesehatan
6. Bagaimana mengenai pendidikan anak autis?
Perlu diketahui bahwa setiap anak autis memiliki kemampuan serta hambatan yang berbeda-beda. Ada anak autis yang mampu berbaur dengan anak-anak ’normal’ lainnya di dalam kelas reguler dan menghabiskan hanya sedikit waktu berada dalam kelas khusus namun ada pula anak autis yang disarankan untuk selalu berada dalam kelas khusus yang terstruktur untuk dirinya. Anak-anak yang dapat belajar dalam kelas reguler tersebut biasanya mereka memiliki kemampuan berkomunikasi, kognitif dan bantu diri yang memadai. Sedangkan yang masih membutuhkan kelas khusus biasanya anak autis dimasukkan dalam kelas terpadu, yaitu kelas perkenalan dan persiapan bagi anak autis untuk dapat masuk ke sekolah umum biasa dengan kurikulum umum namun tetap dalam tata belajar anak autis, yaitu kelas kecil dengan jumlah guru besar, dengan alat visual/gambar/kartu, instruksi yang jelas, padat dan konsisten, dsb).
7. Bagaimana metode belajar yang tepat bagi anak autis?
Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta, kemampuan serta hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau learning style masing-masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat kombinasi beberapa metode. Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang berespon sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode belajar yang banyak menggunakan stimulus visual diutamakan bagi mereka. Pembelajaran yang menggunakan alat bantu sebagai media pengajarannya menjadi pilihan. Alat bantu dapat berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll. Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autis didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai guru pembimbing khusus.
8. Pengajar seperti apa yang dibutuhkan bagi anak autis?
Pengajar yang dibutuhkan bagi anak autis adalah orang-orang yang selain memilii kompetensi yang memadai untuk berhadapan dengan anak autis tentunya juga harus memiliki minat atau ketertarikan untuk terlibat dalam kehidupan anak autis, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, dan kecenderungan untuk selalu belajar sesuatu yang baru karena bidang autisma ini adalah bidang baru yang selalu berkembang.
9. Suasana belajar seperti apa yang dibutuhkan anak autis?
Tergantung dengan kemampuan dan gaya belajar masing-masing anak autis. Ada anak autis yang mencapai hasil yang lebih baik bila dibaurkan dengan anak-anak lain, baik itu anak ’normal’ maupun anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya. Ada anak autis yang lebih baik bila ditempatkan pada suasana belajar yang tenang, tidak banyak gangguan atau stimulus suara, warna, atau hal-hal lain yang berpotensi mengalihkan perhatian.
10. Apa saja yang diajarkan dalam pendidikan anak autis?
Komunikasi (bahasa ekspresif dan reseptif), ketrampilan bantu diri, ketrampilan berperilaku di depan umum, setelah itu dapat diajarkan hal lain yang disesuaikan dengan usia dan kematangan anak serta tingkat inteligensi,.
11. Sampai umur berapa tahun anak autis mendapat pendidikan khusus?
Semua itu sekali lagi tergantung pada kemampuan anak, gaya belajar anak, serta sejauh mana kerjasama antara orangtua atau pengasuh dengan pendidik atau terapis.
12. Umur berapa anak sudah dapat dilepas masuk ke sekolah umum?
Lagi-lagi hal ini tergantung pada kemampuan anak.
13. Berapa besar kemungkinan anak autis berbaur dengan murid lain di sekolah biasa?
Kemungkinan selalu ada. Akan tetapi semua itu tergantung pada kemampuan anak autis tersebut dan apakah sistem pendidikan atau fasilitas di sekolah ’biasa’ itu mendukung berbaurnya anak autis dengan murid-murid lain dalam kelar reguler.



sumber : klik disini

DSM V DAN KEKERASAN DALAM RELASI

Oleh: Margaretha
Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
relationship problem
Berbagai penelitian mengenai kekerasan dalam relasi telah membuka mata berbagai profesional dalam kesehatan mental; bahwa persoalan dalam relasi personal berpengaruh kuat pada kesehatan mental manusia. Dalam Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V; 2013) dinyatakan bahwa berbagai bentuk pengalaman traumatik akibat kekerasan dan penelantaran yang dapat dialami seseorang dalam suatu relasi interpersonal dapat mempengaruhi keadaan mentalnya. Pengalaman traumatik yang terjadi dalam relasi, baik dalam hubungan keluarga, pacaran, suami-istri, anak-orang tua diakui menjadi faktor pencetus, penyebab dan yang mempertahankan gangguan mental yang dialami seseorang. Hal ini berbeda dengan penjelasan di DSM IV TR (2000) yang lebih memfokuskan pada problem psikopatologis individu dalam relasi. Oleh karena itu, profesional dalam kesehatan mental perlu memahami persoalan-persoalan dalam relasi interpersonal, terutama yang terkait dengan kekerasan, trauma, dan penelantaran. Hal ini sangat dibutuhkan agar kita dapat secara utuh memahami persoalan mental yang dialami seseorang.

Apakah problem relasi interpersonal?

Problem relasi adalah pola perilaku atau sindrom psikologis yang secara klinis menonjol yang terjadi dalam hubungan antar individu, dimana sering dikaitkan dengan kemunculkan tekanan psikologis, atau hendaya, atau peningkatan resiko kematian, penderitaan, kecacatan atau kehilangan kemerdekaan pribadi (Heyman, Slep, & Reiss, 20).

Jika kita fokus pada problem relasi, yang dimaksud dalam hal ini adalah persoalan yang terjadi dalam relasi interpersonal manusia, seperti: relasi intim (pacaran, suami-istri), relasi orang-tua dan anak, dan relasi antar saudara dalam keluarga, yang memiliki efek signifikan pada status kesehatan individu-individu yang terlibat di dalamnya. Problem relasi, terutama penganiayaan dan penelantaran, dapat menyebabkan trauma yang dapat menimbulkan gangguan medis dan mental (APA, 2013). Bahkan, berbagai penelitian juga menemukan bahwa hubungan intim homoseksual juga mengalami persoalan relasional seperti hubungan intim heteroseksual. Problem relasi dapat menjadi perhatian klinis karena, persoalan ini dapat membuat seseorang mencari bantuan kesehatan, atau sebagai pencetus munculnya gangguan kesehatan, dan pada kelanjutannya akan mempengaruhi diagnosa, jalannya perkembangan gangguan dan penyakit serta pendekatan perawatan yang harus diberikan pada individu yang mengalami gangguan mental akibat problem relasional ini.

Mengapa problem relasi dapat menjadi suatu gangguan mental?

Pada tahun 1940an, seorang terapis J.L. Moreno melakukan serangkaian kajian dalam Psikoterapi Keluarga. Dari sana, ia memahami bahwa hubungan interpersonal yang buruk dapat mempengaruhi perilaku dan kesehatan mental orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jadi dalam perspektif klinis, yang menjadi sumber masalah adalah relasinya, sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya menjadi mengalami gangguan mental. Lebih lanjut, menurut Moreno, berdasarkan pengalamannya lebih baik fokus memperbaiki relasi daripada mencari siapa yang salah atau sakit dalam relasi. Cara yang Moreno tawarkan adalah membantu individu yang berada dalam suatu relasi problematik untuk berpikir dan merefleksikan apa yang tengah dialaminya, dan pemahaman ini dapat digunakan untuk merubah cara pandang dan perilakunya dalam relasi ini. Hingga kini, berbagai praktisi dan penelitian Terapi Keluarga telah mengembangkan pendekatan Moreno untuk menghadapi berbagai persoalan mental manusia.

Perubahan cara pandang atas problem relasi dalam DSM V di 2013

Dalam Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V; 2013), berbagai bentuk problem psikososial yang dapat dialami manusia, terutama terkait dengan problem relasi telah dimasukkan dalam ketegori Kondisi Lain Yang Dapat Menjadi Fokus Perhatian Klinis (condition that may be a focus on clinical attention). Namun yang menarik, bentuk-bentuk problem dalam relasi intim, termasuk kekerasan, telah diuraikan dan dijelaskan sebagai faktor yang mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Problem dalam relasi intim dijelaskan sebagai suatu perasaan, perilaku dan persepsi menyakitkan yang hadir secara konsisten pada dua manusia atau lebih dalam suatu relasi intim, seperti suami – istri, atau orang tua – anak.

Kategori ini mirip seperti kelompok problem psikososial dalam Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders IV-Text revision (DSM IV-TR; 2000) dimana kekerasan dalam relasi intim juga disebutkan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi klinis. Namun, lokus penjelasan munculnya suatu gangguan mental ada lebih diletakkan pada individu dalam relasi bukan pada dititikberatkan pada relasinya. Jika terjadi suatu kekerasan dalam relasi intim, maka sumber penyebab biasanya akan dilihat dari gangguan mental dari salah satu atau semua pihak dalam relasi (atau disebut sebagai gangguan Axis 1). Identifikasi problem relasi dapat dimasukkan di dalam pembuatan diagnosa Multiaksial, teruatama di bawah Axis I sebagai faktor yang dinilai terkait dengan gangguan klinis utama.

DSM V lebih menekankan bahwa persoalan kesehatan mental juga dapat disebabkan suatu relasi yang bermasalah; tidak melulu disebabkan oleh psikopatologi mental yang dimiliki oleh salah satu atau kedua pihak dalam relasi. Indikasi munculnya gangguan relasional adalah hadirnya interaksi yang buruk atau patologis dan hal ini terjadi bukan hanya disebabkan psikopatologi orang yang ada di dalamnya. Contohnya: persoalan ketidakpuasan dalam relasi intim dapat meningkatkan kemungkinan individu mengalami gangguan depresi. Perubahan ini dilakukan setelah mempertimbangkan temuan berbagai riset yang menyatakan bahwa kekerasan dalam relasi interpersonal adalah salah satu faktor psikososial penting terjadinyanya gangguan mental manusia. Oleh karena itu, DSM V telah memasukkan uraian yang lebih detail atas berbagai persoalan relasi dan juga berguna untuk lebih memudahkan ahli klinis untuk mengumpulkan informasi dan mengidentifikasi problem relasi yang dapat menjadi perhatian klinis.

Dalam DSM V, selain problem relasi (relational problem) diuraikan pula secara detail berbagai kondisi dan permasalahan yang dapat menjadi perhatian dalam persoalan klinis, seperti: problem penganiayaan dan penelantaran (maltreatment and neglect problem), problem pendidikan dan pekerjaan (educational and occupational problem), problem perumahan dan ekonomi (housing and economicproblem), problem terkait dengan lingkungan sosial (problem related with social environment), problem terkait dengan kejahatan dan interaksi dengan sistem hukum (problem related to crime or interaction with the legal system), problem terkait akses layanan kesehatan konseling dan medis (problem related to health service encounter for counselling and medical service), dan problem terkait keadaan psikososial, personal dan lingkungan (problem related to other psychosocial, personal, and environmental circumstances). Kondisi-kondisi dan persoalan-persoalan tersebut diakui oleh American Psychological Association (APA) sebagai faktor yang juga mempengaruhi pembuatan diagnosa, prognosis dan perjalanan psikopatologi serta treatment bagi persoalan kesehatan mental individu.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa penting untuk dibedakan bagaimana suatu gangguan relasi intim muncul. Problem relasional rejadi ketika dua orang atau lebih berada dalam suatu hubungan yang bermasalah. Contohnya: ketika seorang ibu menarik diri dari salah satu anak namun tidak dengan anak yang lain, mungkin saja atribusi gangguannya diletakkan pada hubungan yang bermasalah; namun jika seorang Ibu menarik diri dalam hubungannya terhadap semua anaknya, mungkin gangguan dapat diatribusikan pada kondisi mental individual Ibu. ini disebabkan oleh bahwa pemahaman mengenai bagaimana problem relasional yang dihadapi manusia perlu lebih dipahami oleh berbagai profesional dalam bidang kesehatan mental.

Simpulan

Perubahan bagaimana DSM V berusaha menangkap dan memahami fenomena kekerasan dalam relasi intim membuahkan konsekuensi pada usaha membantu kesehatan mental manusia. Usaha peningkatan kesehatan mental juga perlu memperhatikan problem relasi yang dapat mempengaruhi keadaan kesehatan mental manusia. Kali ini cara pandang lebih diarahkan bukan hanya melihat individu dengan persoalan mental dalam suatu relasi, namun juga mempertimbangkan bagaimana pengaruh suatu relasi pada kesehatan mental individu di dalamnya. Profesional dalam bidang kesehatan mental perlu memahami bagaimana mengidentifikasi relasi yang bermasalah dan bagaimana membantu agar relasi tersebut menjadi lebih baik dan pada akhirnya akan membantu kesehatan mental individu di dalamnya.



sumber : klik disini

PERUBAHAN DIAGNOSA KLINIS AUTISME DALAM DSM V


Margaretha,
sedang mengikuti Workshop Identifikasi dan Intervensi dini Anak dengan Autisme di Autism Association of Western Australia, Perth.
 autism-diagnosis
Di bulan Mei 2013 ini, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V; American Psychiatry Association) telah terbit. Dan didalamnya berisi perubahan mengenai proses pembuatan diagnosa klinis Autisme. Perubahan memahami Autisme yang dilakukan oleh APA dinyatakan telah didasarkan pada riset dalam bidang Autisme. Tulisan ini akan menggambarkan perubahan diagnosa Autisme di dalam DSM V.

Diagnosa Autisme
Profesional dalam bidang kesehatan mental, seperti: Dokter Anak, Psikiater dan Psikolog biasa menggunakan DSM dalam menyusun diagnosa Autisme. DSM memberikan panduan dan penjelasan mengenai berbagai gejala dan tanda-tanda yang terkait dengan autisme. DSM juga memberikan kriteria mengenai berapa jumlah gejala yang harus tampak untuk dapat menegakkan diagnosa klinis autisme.
Perubahan diagnosa di DSM V
Ada beberapa perubahan diagnosa dalam DSM V yang perlu dipahami oleh profesional dalam bidang kesehatan mental.
1. Satu diagnosa gangguan Autisme Spektrum (Autism Spectrum Disorder).
Diagnosa ASD menggantikan berbagai diagnosa klinis terdahulu seperti Gangguan Autistik, Asperger, dan Ganggan Pervasive yang tidak spesifik.
2. Kriteria derajat keberatan gejala.
Dalam diagnosa ASD diperkenalkan juga kontinuum derajat keberatan autisme, dari level 1, 2, 3. Tingkatan ini didasarkan pada sejauhmana anak membutuhkan dukungan orang lain dalam melakukan tugas perkembangannya. Tingkatan ini menunjukkan bahwa ada anak dengan tingkat ASD ringan dan ada pula yang tingkat gangguan lebih berat.
4. Diagnosa ASD dari Triadic menjadi Dyadic
Sebelumnya diagnosa autisme ditegakkan jika muncul gangguan pada 3 ranah, yaitu: komunikasi dan bahasa, interaksi sosial dan perilaku minat terbatas dan berulang (DSM IV TR, 2000). Namun dalam DSM V, diagnosanya menjadi 2 ranah, yaitu: hambatan komunikasi sosial (deficits in social communication) dan minat yang terfiksasi dan perilaku berulang (fixated interest and repetitive behavior).
5. Profil sensoris autisme
Sebelumnya problem sensoris atau inderawi autisme tidak disebutkan dalam DSM IV. Dalam DSM V, profil sensoris anak dengan ASD dimasukkan dalam gejala minat yang terfiksasi dan perilaku berulang. Misalkan: tidak menyukai makanan tertentu yang memiliki warna atau tekstur tertentu.
6. Gejala yang telah muncul sejak masa kanak
Menurut DSM V, diagnosa ASD bisa ditegakkan jika anak telah menunjukkan gejala sejak masa kanak. Walaupun gangguan ASD baru diketahui setelah masa kanak, namun penting untuk melihat dyadic tersebut yang menunjukkan bahwa anak memiliki persoalan dalam hal sosial dan perilaku dibandingkan anak-anak seusianya.
7. Diagnosa comorbid
Dalam DSM V, dijelaskan bahwa jika anak menampilkan gejala dari beberapa gangguan, maka ia bisa mendapatkan diagnosa komorbid. Diagnosa komorbid adalah jika anak  mendapatkan 2 diagnosa gangguan atau lebih. Misalkan, anak dengan ASD dan ADHD.
8. Perbedaan diagnosa Gangguan komunikasi sosial dan ASD
Perbedaannya adalah Gangguan komunikasi sosial (Social Communication Behavior) tidak mencakup problem perilaku minat terbatas dan berulang. Karena ini adalah kriteria yang baru, ahli klinis perlu lebih mempelajarinya agar lebih terbiasa menggunakannya.
Perubahan ini akan mempengaruhi proses pembuatan diagnosa di seluruh dunia. Di Australia, mulai saat ini proses diagnosa ASD telah mulai menggunakan DSM V. Namun di Indonesia proses diagnosa ASD belum dilakukan dengan panduan DSM V.

Sumber: klik disini
Raising Children Network (2013). DSM V: Diagnosis of ASD. Dibaca dariwww.raisingchildren.net.au


AUTISME: GANGGUAN PERKEMBANGAN PADA ANAK

autisme child
  1. Terapis wicara: untuk membantu merangsang dan meningkatkan kemampuan berbicara dan berbahasa
  2. Terapis okupasi: untuk membantu merangsang dan meningkatkan kemampuan motoris kasar dan halus, terutama dalam membantu kemampuan belajar (menulis) dan merawat diri (mandi, berpakaian)
  3. Terapis psikologi dan perilaku: untuk membantu mengembangkan pengelolaan perilaku, mempersiapkan kesiapan belajar dan penyesuaian diri anak di lingkungannya (rumah, sekolah), juga membantu orang tua mempersiapkan anak menghadapi berbagai perubahan
  4. Pendekatan pendidikan: membantu mempersiapkan sarana dan prasarana, juga strategi belajar yang mendukung anak untuk belajar
Autisme: Gangguan perkembangan pada anak
Oleh: Margaretha
Dosen Psikologi Abnormal, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun; sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang mengidap autisme (Republika Online). Namun hingga kini belum banyak yang kita ketahui tentang Autisme, selain gejalanya. Apakah Autisme yang bisa masih terus kita pelajari? Dengan pemahaman tersebut apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi anak dengan Autisme? Berikut adalah uraian sederhana mengenai dunia yang dihadapi oleh anak dengan Autisme.
Apakah autisme
Autisme adalah sekelompok gangguan perkembangan yang berpengaruh hingga sepanjang hidup yang memiliki dasar penyebab gangguan perkembangan di otak (neurodevelopmental). Gangguan yang terjadi pada otak anak menyebabkannya tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme secara menonjol pada 3 bidang, yaitu: gangguan sosial, komunikasi, dan perilaku dengan minat terbatas dan berulang.
1. Gangguan perkembangan interaksi sosial
Anak dengan autisme memiliki kesulitan membaca dan memahami pikiran dan perasaan orang lain di sekitarnya; dan sebaliknya mereka juga tidak dapat memahami kemampuan diri sendiri untuk mempengaruhi atau merubah lingkungannya. Sehingga, anak dengan autisme terlihat serti tidak memiliki minat melakukan interaksi sosial. Namun beberapa anak memiliki keinginan sosial tapi tidak mampu menjalin interaksi sosial tanpa dibantu orang lain.
2. Gangguan komunikasi
Anak dengan autisme memiliki kemampuan komunikasi yang berbeda dimana mereka kesulitan memahami fungsi sosial komunikasi verbal. Mereka memahami bahasa secara literal dan kesulitan memahami konteks bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, anak dengan autisme biasanya memiliki kemampuan ekspresif dari pada reseptif. Pada beberapa anak juga ditemukan keterlambatan perkembangan bahasa.
3. Gangguan minat terbatas dan perilaku berulang/repetitif
Anak dengan autisme memiliki minat yang terbatas serta keterpakuan pada rutinitas, seperti: menyukai membuat barisan mainan. Ada juga perilaku berulang yang ditunjukkan seperti obsesi terhadap suatu obyek, misalkan: sangat tertarik pada jadwal atau benda tertentu. Rutin dan ritual menjadi suatu yang sangat penting dalam aktivitas anak dengan autisme, seperti melakukan hal-hal dalam urutan tertentu, menggunakan baju tertentu, makan makanan tertentu. Rutinitas membuat anak dengan autisme mampu memprediksi dan mengelola dunianya, maka ia akan sangat merasa tertekan jika ritual dan rutinitasnya terganggu.
Ketiga gangguan ini sering disebut sebagai Tiga Gangguan Autisme (triad of impairment). Namun selain ketiga hal tersebut, anak dengan Autisme memiliki kekhususan perkembangan yaitu pada perkembangan pola kognitif (cognitive style) dan kemampuan sensorisnya (sensory characteristics).
Karakteristik kognitif
Secara khusus kemampuan kognitifnya mengalami keunikan pada 3 area: 1) fungsi eksekutif (executive function) atau kemampuan merencanakan, memulai, mengelola dan mempertahankan perilaku dalam rangka mencapai tujuannya, 2) theory of mind (ToM) atau kemampuan memahami perasaan dan pikiran orang lain, dan 3) pemusatan pemahaman dengan cara mengintegrasikan berbagai informasi detail menjadi suatu keseatuan yang lebih bermakna (central coherence).
Dalam hal fungsi eksekutif, anak dengan autisme biasanya sulit memahami tahapan-tahapan perilaku untuk mencapai suatu tujuan, kecenderungan fokus pada detail tertentu membuat mereka tidak bisa menempatkan detail satu tahapan dalam konteks urutan perilaku yang lebih besar. Oleh karena itu anak dengan autisme masih perlu dibimbing untuk mengurai perilaku menjadi langkah-langkah yang saling berhubungan dan dilakukan secara berurutan. Terkait dengan hal ini, anak dengan autisme juga sering dilihat sebagai anak yang kurang fleksibel, tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, serta tidak bisa spontan dan refleks.
Dalam hal ToM, anak dengan autisme kurang dapat memahami berbagai emosi dan perspektif orang lain. Sehingga mereka tampak seperti kurang peka dan tidak paham berbagai peristiwa interaksi sosial. Seringpula mereka akan memberikan respon yang tidak tepat pada suatu situasi sosioemosional, contohnya: tertawa ketika ada yang marah; hal ini terjadi karena mereka tidak memahami apa dan bagaimana respon emosi yang perlu difokuskan pada suatu situasi sosial dan bagaimana meresponnya. Hambatan sosial memang paling terkait dengan kelemagan ToM. Namun perlu digaris-bawahi bahwa kesulitan sosial dan komunikasi pada anak dengan autisme bukan berarti bahwa mereka tidak menginginkan atau tidak memiliki minat interaksi sosial, namun mereka membutuhkan bantuan untuk dapat memahami situasi sosial dan bagaimana cara meresponnya secara tepat.
Begitupula dengan kemampuan pemusatan pemahaman, kesulitan yang biasa dihadapi anak dengan autisme adalah mereka memahami bahasa dan kata secara langsung tanpa memasukkan pemahaman kontekstual sehingga pemahamannya yang keluar menjadi kurang tepat, contohnya: “buang pikiran jauh-jauh” sebenarnya artinya jangan dipikirkan, tapi anak dengan autisme tidak dapat memahami bagaimana membuang pikiran dari kepala seperti membuang sampah keluar rumah.
Karakteristik sensoris
Dalam hal kemampuan sensoris, anak dengan autisme juga memiliki keunikan pemrosesan dan interpretasi informasi sensoris. Beberapa anak ditemukan mengalami tingkat sensitivitas yang tinggi (hipersensitif) namun ada pula yang sensitivitasnya rendah (hiposensitif), akibatnya mereka dapat memiliki ambang batas inderawi yang berbeda-beda. Informasi sensoris bukan hanya yang diterima oleh panca inderawi (penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan kulit), namun keunikan dalam hal keseimbangan, gerak tubuh atau kinestetik juga perlu diperhatikan baik-baik pada anak dengan autisme. Gejala yang dapat muncul terkait dengan sensitivitas sensoris adalah: mudah terganggu dengan rangsang yang biasanya tidak mengganggu seperti suara mobil, suara kipas angin; sulit memproses atau memberikan respon pada rangsang tertentu. Ada anak yang mudah merasa terganggu karena silaunya lampu dan cahaya, namun ada pula yang terlihat kurang peka terhadap rangsang dengar sehingga harus diajak berbicara cukup keras. Penting untuk mengukur karakteristik sensoris anak dengan autisme secara individual agar diketahui profil kemampuan sensorisnya dan diintegrasikan dalam penanganan pembelajarannya. Misalkan, jika anak sensitif pada cahaya, maka ruang belajar anak dibuat tidak terlalu terlampau terang.
Dengan memahami berbagai keunikan dan juga 3 gejala gangguannya, maka kita bisa mengetahui bagaimana pengaruhnya pada perkembangan kemampuan anak. Dari pemahaman dasar inilah kita dapat lebih memahami bagaimana ia memahami dunianya, dengan begitulah kita juga akan tahu bagaimana cara membantunya.
Keunikan-keunikan
Selain kelemahan-kelemahan tersebut, kita juga perlu memahami bahwa anak dengan autisme juga memiliki kemampuan unik yang unggul. Keunikan utama anak dengan autisme adalah fokus terhadap detail. Kemampuan ini dapat membantunya untuk mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan fokus pada detail, seperti kecermatan dan menghapal. Kemampuan memahami detail anak dengan autisme secara umum dianggap lebih kuat daripada anak yang berkembang secara normal.
Karakteristik unik lain dari anak dengan autisme biasanya dapat mengembangkan kekuatan belajar yang lebih fokus pada informasi visual; hal ini membuat mereka lebih mudah fokus pada pemrosesan informasi visual yang akan memudahkan mereka untuk memahami informasi dari lingkungan. Jika kemampuan ini bisa dikembangkan, kemampuan memahami detail visual dapat membuat mereka dapat diandalkan melakukan tugas-tugas yang memerlukan kecermatan dan ketekunan visual, seperti menggambar, mengingat informasi visual dan sebagainya. Anak dengan autisme yang memiliki kemampuan unggul dalam suatu bidang disebut sebagai anak Autisme Savant.
Dari informasi ini, maka masyarakat perlu memahami bahwa label anak dengan autisme adalah anak sakit yang tidak berguna di masyarakat adalah salah. Stigma autisme sebagai penyakit mental sudah selayaknya diganti dengan cara pandang yang lebih positif, yaitu anak dengan autisme adalah individu yang akan berkembang melalui tahap dan jalan perkembangan yang berbeda dari individu lain. Sama sepertinya semua manusia, anak dengan autisme juga memiliki keunikan perkembangan.
Autisme dalam perawatan
Sering sekali orang memandang Autisme sebagai gangguan kejiwaan atau kegilaan, sehingga anak mengalami label dan stigma sepanjang hidupnya. Hal ini dipengaruhi oleh cara berpikir klinis medis yang menganggap anak dengan Autisme memiliki gangguan penyakit. Dan sebagai akibatnya anak dengan autisme segara diberikan pengobatan; karena dianggap  sebagai satu-satunya cara untuk membuatnya mau melakukan fokus pada interaksi sosial dan komunikasi.
Namun sejak beberapa dekade terakhir ini, autisme dipandang sebagai masalah perkembangan yang perlu segera diidentifikasi dan diberikan intervensi serta stimulasi dini. Hal ini juga menjadi suatu kesepakatan internasional, dimana tenaga kesehatan mental seluruh dunia telah di telah membuat kesepakatan untuk memahami Autisme dalam konteks perkembangan anak.
Gejala autisme muncul pada awal masa perkembangan anak, dan gejala tersebut dapat bertahan sepanjang hidup anak.  Oleh karena itu pendekatan perawatannya haruslah membantu perkembangan pada kemampuan-kemampuan anak dalam berbagai dimensi perkembangannya (misal: bahasa, sosial, motoris, dan sebagainya). Stimulasi dini menjadi jawaban untuk membantu anak dengan autisme agar anak dengan autisme dapat mengoptimalisas perkembangan serta kemampuan belajarnya. Anak dengan autisme perlu dibantu untuk melakukan kontak sosial, belajar berbahasa dan mengatur perilakunya.
Proses membantu anak dengan autisme juga perlu dilakukan secara komprehensif dibantu profesional dari berbagai bidang ilmu, seperti:
Setelah memahami betapa berbedanya gejala dan karakteristik Autisme pada masing-masing anak, maka penting digaris-bawahi bahwa bantuan pada anak dengan autisme harus diberikan secara individual. Masing-masing anak perlu dipahami kelebihan dan kesulitannya, barulah akan didesain bantuan pada masing-masing anak secara individual. Tidak ada satu program yang bisa dibuat untuk banyak anak dengan autisme. Berbagai disiplin ilmu dapat bekerjasama dalam memberikan layanan dan membentuk suatu program perawatan dan pendidikan anak dengan autisme. Oleh karena itu, berbagai pihak termasuk orang tua, tenaga kesehatan, sekolah serta masyarakat perlu bersama-sama bekerjasama untuk mendukung usaha perawatan dan mendukung perkembangan anak dengan autisme.
Penulis sedang mengikuti Workshop Identifikasi dan Intervensi dini Anak dengan Autisme di Autism Association of Western Australia, Perth
Referensi
112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang AutismeRepublika Online. Diakses pada 2 Juli 2013.
Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia.

sumber : klik disini

Penderita Autis Harus Hindari Gluten?




FOTO: Getty Images



Makanan yang mengandung gluten sering dituding dapat memperberat gejala pada anak autisme, gangguan dalam bidang interaksi sosial, komunikasi, perilaku, gangguan sensorik dan motorik. Biasanya gangguan tersebut diderita seseorang sejak lahir atau saat balita. Salah satu cara yang dapat dilakukan agar gejala itu tidak bertambah berat adalah lewat pengaturan makan anak berkebutuhan khusus, termasuk pengaturan diet bebas gluten pada anak penderita autis.



Apa itu gluten?
Gluten merupakan campuran bentuk yang tidak beraturan dari protein yang secara alami ada di dalam hampir semua serealia atau biji-bijian. Kandungan gluten dapat mencapai 90% dari total protein dalam tepung, 8% lemak dan 2% karbohidrat. 



Terdapat dua jenis protein yang merangkai gluten, yakni gliadin dan glutein. Makanan yang mengandung gluten kebanyakan adalah makanan yang berbahan dasar gandum dan gandum itu sendiri. Selain gandum, gluten juga banyak terkandung dalam rye, barley, oat, sereal dan pasta. Kandungan gluten pada masing-masing bahan makanan ini memiliki jumlah yang berbeda-beda. Pada oat, misalnya, kandungan glutennya hanya sedikit, sedangkan pada roti gandum, kandungan glutennya justru paling banyak. Nilai pasti kandungan gluten pada beberapa bahan makanan ini hanya bisa diukur dengan uji kimia bahan makanan.




Manfaat Gluten
Gluten yang merupakan senyawa komplek berguna dalam pembuatan roti. Hal ini terjadi dengan proses seperti ini: ketika tepung diberi air saat akan dibuat adonan, gluten yang terkandung dalam tepung akan mengikat sebaian air dan membentuk jaring-jaring untuk saling mengikat. Struktur ini kemudian membentuk ruangan-ruangan yang berisi udara untuk meningkatkan volume adonan dan membuat adonan roti menjadi lebih elastis dan dapat terasa kenyal saat dimakan. 



Sifat gluten yang kenyal ini juga dimanfaatkan dalam pembuatan daging tiruan untuk orang vegetarian. Sedangkan bagi tubuh, gluten bermanfaat seperti zat protein. Fungsi protein secara umum yaitu untuk memelihara sel tubuh, membangun sel dan mengganti sel tubuh yang rusak. Demikian juga fungsi gluten di dalam tubuh. 
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutunya. Beberapa makanan sumber protein hewani antara lain telur, daging, unggas dan ikan. Selain protein hewani, terdapat pula protein nabati seperti kacang-kacangan, tempe dan tahu. Protein nabati ini memiliki mutu atau nilai biologi yang tinggi sehingga dicerna dan diserap dengan baik di dalam tubuh dan tubuh akan mendapatkan seluruh manfaat yang diberikan oleh protein nabati ini. 



Gluten yang banyak terdapat pada tanaman gandum bisa dikategorikan sebagai protein nabati. Artinya, gluten memiliki mutu yang baik saat dicerna oleh tubuh dan memberikan manfaat seperti protein untuk tubuh.




Bebas gluten
Jika dilihat dari banyaknya manfaat gluten, lalu mengapa anak yang menderita autisme perlu menghindari bahkan harus membebaskan diet atau makanannya dari gluten? Sebuah penelitian menemukan adanya hubungan antara gluten, perilaku individu 
dan autisme. Tubuh anak yang menderita autisme, metabolisme glutennya berbeda dengan orang biasa. Tubuh mereka tidak bisa mencerna gluten dengan sempurna dan menghasilkan enzim protein yang mirip morfin. Hal ini membuat perilaku mereka menjadi 
hiperaktif atau terlalu senang.



Tapi karena masuknya gluten lewat saluran pencernaan, maka efek yang ditimbulkan kebanyakan juga terjadi pada saluran cerna seperti kembung dan diare. Karena itulah gluten disinyalir memperberat gejala autism. Salah satu cara menghindari gejala agar tidak lebih berat pada anak autis adalah dengan mengeliminasi atau meniadakan gluten dalam makanan yang akan dikonsumsi anak. Bagaimana caranya? Paling mudah adalah dengan menyediakan makanan bebas gluten di rumah untuk anak. Sayangnya memilih makanan bebas gluten perlu ketelitian yang tinggi. Sebab di Indonesia jarang sekali makanan yang diberi label “gluten free”. Kalaupun ada, kebanyakan tercantum pada makanan produk impor. 
    






sumber : klik disini

Stimulasi Bayi Mandiri

Stimulasi Bayi Mandiri  Ayahbunda.co.id
Image by : Dokumentasi Ayahbunda

Ketika bayi mulai menunjukkan tanda-tanda kemandiriannya, seperti misalnya, meraih kaki dan memasukkannya ke dalam mulut untuk mengenali dirinya, atau mulai memberi respons dengan mendengar dan memerhatikan suara musik yang diperdengarkan, saat itulah bayi perlu distimulasi dengan tepat. 
Stimulasi tepat antara lain dengan merangsang bayi untuk semakin sering tertawa atau membuat suara dengan mulutnya dengan cara menciptakan gerakan dan mimik konyol pada wajah Anda. Selain itu, ada mainan-mainan tertentu yang juga dapat menstimulasi perkembangan kemandirian bayi.
Mainan bergerak yang dapat diraih, seperti bola plastik dan mobil-mobilan. Saat koordinasi mata dan tangan bayi membaik, Anda mungkin memperhatikan ada kemampuan barunya yaitu menjangkau dan meraih atau bahkan membungkuk menuju mainan yang jatuh. Mainan yang berbunyi ketika diraih, akan mendorong pengembangan keterampilannya tersebut sambil melatih keseimbangan tubuhnya.
Mainan yang membantu mengembangkan pengenalan diri, seperti boneka yang dilengkapi dengan cermin menggantung. Ia dapat mengenal Anda secara visual sekarang, dan kemampuannya untuk mengenali orang lain di sekitarnya pun akan meningkat. 
Mainan dengan cermin tidak hanya menghibur bayi, namun juga membantunya mengenali diri sendiri dan orang lain. Akibatnya, ia suka tersenyum pada bayi lain, terutama pada bayangannya di cermin.
Mainan bersuara dan dapat digenggam, seperti boneka yang mengeluarkan bunyi saat ditekan tombolnya dan rattle. Dengan mainan ini, bayi mempelajari hubungan sebab akibat.  Jika mainan  ditarik atau digoyang, akan berbunyi. Pandangannya akan terpaku pada bunyi musik atau goyangan serta suara gemerincing dari rattle. Bayi Anda akan menoleh mencari arah sumber suara. Cara ini efektif untuk meningkatkan logika berpikirnya di usia ini.
Mainan aktivitas, seperti mainan telepon. Bayi akan memegang-megang mainan ini tanpa tahu  cara memainkannya. Namun ia mulai mengamati gerak-gerik Anda menekan tombol-tombol di telepon. Sesekali ia tertarik meniru gerakan Anda. Bayi sebenarnya masih belum bisa menekan tombol hingga bisa membuat telepon berbunyi. Kekuatan tangannya masih terbatas, belum lagi koordinasi motorik halusnya belum bisa diandalkan. Ia baru menguasai memindah barang dari tangan kanan ke tangan kiri dan sebaliknya. Hukum sebab akibat juga ia pelajari karena setiap tombol bisa bersuara dan menyala.

sumber : klik disini








6 Kiat Kendali Diri


Si kecil perlu dibimbing untuk mengendikan diri sejak dini. Jika dilakukan pada usia yang lebih besar, akan lebih susah lho!


Anak suka ngamuk bila keinginannya tak dituruti, bertingkah laku tidak sopan didepan orang? Bagaimana cara mengajari anak mengendalikan dirinya dengan baik? Simak tips berikut ini.
  • Kenalkan secara rutin
  • Sering-seringlah memberitahu anak tentang bahaya benda-benda di sekelilingnya. Bila dia masih menangis menginginkan benda berbahaya tadi, alihkanlah perhatiannya dengan memberikan benda lain.
  • Tegas dan konsisten
  • Apa yang “boleh” dan yang “tidak boleh” harus tegas orang tua terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja harus juga disertai dengan penjelasan logis terhadap larangan tadi.
  • Komunikasi dan kompromi
  • Untuk hal-hal yang bisa dikompromikan, sebaiknya ajaklah anak secara aktif untuk berkompromi dan berdiskusi.
  • Tumbuhkan kesadaran
  • Seiring semakin besar usia anak, orang tua bisa mengajari betapa pentingnya pengendalian diri itu. Anak perlu diajari untuk memiliki kesadaran positif.
  • Tak segera penuhi keinginan anak
  • Saat anak menangis sambil marah-marah, ada baiknya orang tua terlebih dahulu bertanya kepada si kecil untuk mengutarakan perasaan dan keinginannya dengan tutur bahasa yang teratur sehingga orang paham keinginannya.
  • Latihan fisik untuk kesabaran.
  • Sambil bermain orang tua bisa mengajak anak untuk mealtih kesabarannya. Misalnya bermain meniti seutas tali di lantai dan bertahan agar kaki tidak meleset dari atas tali tersebut.




sumber : klik disini

Memahami Anak Autisme


Memahami Anak Autisme  Ayahbunda.co.id
Image by : Dokumentasi Ayahbunda
Dengan mengenal dan memahami autisme, kita bisa menghadapi dan mengatasinya sedini mungkin. 
  1. Apa sih, autisme itu? Autisme adalah gangguan perkembangan pada anak dengan 3 ciri atau gejala utama, yaitu gangguan pada interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan pola tingkah laku atau minat yang repetitif dan stereotip. Gejala autisme ini sangat bervariasi dan sudah timbul sebelum anak tersebut berumur 3 tahun. Selain bervariasi, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat. Itu sebabnya, gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).
  2. Bagaimana tahunya kalau anak kita autis? Kini telah dikembangkan checklist yang dinamakan M-CHAT (Modified Checklist for Autism in Toddlers) untuk mendeteksi autisme pada anak umur 16-30 bulan. Bila Anda menjawab, “Tidak”, pada tiga atau lebih di antara pertanyaan, atau dua atau lebih pertanyaan kritis pada checklist tersebut, maka sebaiknya Anda berkonsultasi pada profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme.
  3. Benarkah autisme bisa dideteksi sejak bayi? Berdasarkan riset, belum ada petunjuk mendeteksi autisme pada bayi sebelum gejala muncul. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya, mungkin sudah melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata.  
  4. Samakah anak hiperaktif dengan anak autistik? Tidak. Perilaku hiperaktif pada gangguan autistik berbeda dengan perilaku hiperaktif pada gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). 
  5. Sebenarnya, apa sih, penyebab autisme? Autisme dapat terjadi pada siapa pun, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Sampai saat ini, penyebab GSA belum dapat ditetapkan. Negara-negara maju yang sanggup melakukan penelitian menyatakan bahwa penyebab autisme adalah interaksi antara faktor genetik dan mungkin berbagai paparan negatif yang didapat dari lingkungan. 
  6. Apakah bayi yang diimunisasi MMR sebelum bicaranya lancar dan jelas bisa menjadi autis? Dari berbagai penelitian, telah dipastikan tidak ada hubungan antara vaksin campak ataupun MMR dengan autisme. Bahkan, British Medical Journal (BMJ) edisi 5 Januari 2011 dalam editorialnya menulis penipuan yang dilakukan Dr. Andrew Wakefield, sang ilmuwan yang menemukan vaksin MMR dapat menyebabkan anak autis. "Ada bukti nyata pemalsuan data, dan sekarang bagaimana harus menutup 'pintu ketakutan' yang menyatakan vaksin ini berbahaya," tulis editorial BMJ, seperti dilansir ABC News, Kamis (6/1/2011).
  7. Bagaimana cara tepat menangani anak autistik? Yang paling penting adalah deteksi dan diagnosa dini, sehingga anak yang terdiagnosa autistik bisa segera menjalani terapi. Berbagai terapi terbukti membantu meningkatkan kualitas hidup individu autistik. Penanganan yang sudah tersedia di Indonesia antara lain terapi perilaku, terapi wicara, terapi komunikasi, terapi okupasi, terapi sensori integrasi, dan pendidikan khusus. Beberapa dokter melakukan penatalaksanaan penanganan biomedis dan diet khusus. Penanganan lain seperti integrasi auditori, oxygen hiperbarik, pemberian suplemen tertentu, sampai terapi dengan lumba-lumba, juga sering ditawarkan.
  8. Apakah cara penanganan anak autistik membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu lama? Ya. Pada awalnya, terapi harus dilakukan secara intensif, satu terapis satu murid. Sebagian anak dapat masuk sekolah biasa, sebagian masuk sekolah inklusi (sekolah umum yang bersedia menerima dan mendidik anak berkebutuhan khusus), tetapi ada pula sebagian anak yang tetap harus bersekolah di sekolah khusus.
  9. Apakah benar makanan anak autistik harus diatur khusus? Sebagian peneliti berpendapat bahwa anak autistik mempunyai beberapa masalah di saluran pencernaannya sehingga makanan yang merupakan faktor pemicu atau faktor yang menambah masalah pada saluran cerna tersebut hendaknya tidak dikonsumsi. Makanan yang harus dihindari tersebut adalah yang mengandung kasein (susu, yoghurt, keju, mentega, beberapa margarin, es krim, susu cokelat, biskuit dan beberapa produk olahan yang menggunakan susu) dan/atau gluten (roti, pizza, produk pasta, pastry, biskuit, beberapa produk sereal dan produk-produk lainnya yang dibuat dengan menggunakan terigu). Hindari juga makanan yang mengandung bahan tambahan pangan (seperti MSG, bahan pengawet, pemanis buatan dan bahan pewarna/penambah cita rasa buatan), mengandung ragi (roti, vinegar, keju, kecap dan produk fermentasi lainnya) serta gula, dan makanan penyebab alergi dan/atau intoleransi (susu sapi, telur dan makanan mengandung gluten). Namun, sebagian peneliti lain menganggap bahwa teori ini tidak terbukti secara ilmiah dan tidak menganjurkan diet khusus.
  10. Apakah anak autistik bisa sembuh total dan kembali normal? Autis memiliki kemungkinan untuk dapat “disembuhkan”, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada, kecepatan diagnosis dan terapi yang didapat. Banyak penyandang autis yang berhasil “disembuhkan”, dan dapat hidup dengan normal dan berprestasi.
  11. Apakah benar anak autistik biasanya punya kelebihan lain yang tidak dimiliki anak normal? Anak autistik tidak selalu mempunyai kemampuan genius. Mereka berkembang seperti individu lain pada umumnya, dengan kecerdasan yang bervariasi, bakat yang berbeda-beda, dan kesempatan yang tidak sama.
  12. Adakah cara untuk mencegah/menghindari anak dari autisme? Seperti penyebabnya, pencegahan autis sampai saat ini belum diketahui secara pasti. 
  13. Anak pertama saya autistik, apakah anak kedua saya bisa autistik juga? Ya. Risiko anak berikut memang lebih besar.
  14. Benarkah semakin hari, anak autistik semakin bertambah banyak? Ya. Prevalensi atau kecenderungan autisme meningkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun Walaupun di Indonesia belum diketahui data yang tepat, tetapi di Amerika diperkirakan terjadi pada 1 : 150 kelahiran. Peningkatan ini dapat disebabkan beberapa hal, yaitu bertambahnya pengetahuan tentang autisme di kalangan dokter dan masyarakat, kriteria diagnosis autisme yang makin longgar, makin banyaknya diagnosis pada saat anak berumur masih sangat muda, dan kemungkinan bahwa jumlahnya memang bertambah.    
  15. Apakah benar, kebanyakan yang kena autisme itu anak laki-laki? Ya. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita dengan perbandingan 4 : 1. Tidak diketahui sebabnya.  
  16. Apa yang bisa kita lakukan untuk menemukan dan mengembangkan potensi anak autistik?
  • Berusaha lebih memahami autisme, sehingga bisa mendeteksi dini gejala autisme serta memberi kesempatan pada mereka untuk berkembang optimal dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
  • Bersikap lebih toleran dan tidak melecehkan individu autistik.
  • Bersikap lebih empati terhadap orang tua anak penyandang autisme dan mengerti kesulitan yang mereka hadapi.



sumber : klik disini



 
Copyright © 2013. Pusat Layanan Autis Kalsel Kalsel- All Rights Reserved